Sejarah Tambang Ombilin yang Buka Jalan Tambang Batu Bara di Sawahlunto Sumatera Barat

Insinyur tambang Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth adalah sosok insinyur asal Belanda yang turut serta dalam proyek pertambangan di Ombilin sejak 1874. Kehadiran keduanya juga turut membuka jalan bagi tambang batu bara di Sawahlunto, Sumatera Barat.

oleh Natasa Kumalasah Putri diperbarui 09 Des 2022, 17:00 WIB
Diterbitkan 09 Des 2022, 17:00 WIB
Tambang Batu Bara Sawah Lunto
Batubara membuat Sawahlunto menjadi magnet bagi kaum pendatang di awal abad 20.

Liputan6.com, Bandung - Insinyur tambang Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth adalah sosok insinyur asal Belanda yang turut serta dalam proyek pertambangan di Ombilin sejak 1874. Kehadiran keduanya juga turut membuka jalan bagi tambang batu bara di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Kedua insinyur tersebut melanjutkan apa yang dilakukan oleh W H de Greeve pada 1872. Saat itu, ia melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat. Namun, saat melakukan penelitian ia bernasib sial karena tewas kecelakaan di sungai Indragiri.

Namun sebelum kedatangan dari Greeve pada awal Mei 1662 VOC atau Vereenigde Oost Indische Compagnie yaitu perusahaan multinasional asal Belanda telah menduduki Pulau Cingkuak (Poulo Chinco). Penguasaannya didasarkan dari koneksi berdagang di Sumatra Westkust dari perjanjian painan (W.J.A de Leeuw, Het Painansch Contrack. Amsterdam: H.J. Paris, 1962).

VOC yang menguasai Pulau Cingkuak menjadikan pulau tersebut sebagai jangkar dalam menduduki Kota Padang. pulau kecil ini juga digunakan satu abad lamanya dan menjadi loji untuk keperluan perdagangan lada dan pala serta mengelola tambang emas Salido.

Veth pun menulis sebuah laporan dengan judul “The Expedition to Central Sumatra”. Batu bara Ombilin di Sawahlunto pun baru ditambang di tahun 1891 karena adanya permasalahan birokrasi di Pemerintah Belanda saat itu.

Produksinya juga baru dilakukan setahun kemudian setelah infrastruktur pendukung rel kereta api yang menjadi jalur pengangkutan dan pelabuhan selesai dibangun. Penambangan di Sawahlunto juga bermula dari adanya ekspedisi seorang geolog bernama de Groet asal Belanda.

Ia mendeteksi adanya kandungan emas hitam di sekitar Sungai Ombilin tersebut tepatnya di pertengahan abad ke-19. Satu dekade kemudian ekspedisi tersebut pun diteruskan oleh R DM Verbeck seorang ahli kebumian yang juga menemukan simpanan batu bara di sepanjang alur sungai yang jumlahnya sekitar puluhan juta ton.

Dengan waktu yang sebentar setelah produksi batu bara tambang di Sawahlunto pun menjadi gabungan antara teknologi Eropa dan juga kekayaan alam yang ada di Indonesia. Bahkan Sawahlunto menjadi kawasan yang diakui sampai saat ini sebagai situs tambang tertua di Asia Tenggara.

Pertambangan di Sawahlunto juga mempunyai metode pertambangan yang langka karena cara menambangnya dari bawah tanah dan melewati lorong-lorong. Hal tersebut juga sampai saat ini Ombilin menjadi tambang batu bara di Indonesia yang memakai metode tambang bawah tanah.

Kisah Pilu manusia Rantai

Tambang batu bara Sawahlunto juga mempunyai sejarah pilu dan kelam karena menyimpan kisah mengenai manusia rantai yang ada di sana. Tepatnya istilah tersebut diberikan karena pekerja pribumi yang bekerja di tambang Sawahlunto.

Dimana para pribumi tersebut mempunyai status tahanan politik dan bekerja secara paksa terdapat rantai yang dipasang pada kaki, tangan, serta leher mereka sehingga mereka bekerja dengan kondisi diikat tali besi.

Adapun tempat tersebut juga dikenal dengan nama Lubang Mbah Soero yang berlokasi di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar. Nama Soero juga berasal dari nama mandor yang bekerja di lubang tersebut.

Ia adalah sosok yang dikenal sebagai pekerja keras, tegas, dan juga turut disegani oleh para buruh tambang. Lokasi dari Lubang Mbah Soero juga mempunyai tinggi dan lebar sekitar dua meter dengan kedalaman 15 meter dari permukaan tanah dan panjangnya sekitar ratusan meter.

Orang-orang rantai di sana mempunyai jumlah yang sangat banyak ada sekitar ratusan orang namun diperlakukan dengan tidak manusiawi. Para pekerja juga bekerja siang dan malam dengan makanan yang tidak layak.

Bahkan kisah pilunya juga menceritakan banyak dari pekerja tambang yang tewas mengenaskan di mana jenazahnya ditimbun dalam gorong-gorong dengan begitu saja. Tambang tersebut juga dulunya digunakan untuk menampung pekerja tambang yang sakit dan dibiarkan sampai mati.

Saat ini, Lubang Mbah Soero menjadi tempat wisata pada 2007 yang para pengunjungnya bisa lihat untuk menyusuri lubang tersebut. Namun pengunjung yang datang tentunya diwajibkan menggunakan helm serta sepatu pengaman.

Adapun bekas galian tambang Ombilin pun menjadi museum sejarah yang sudah diakui oleh dunia terutama pada 16 Juli 2019 UNESCO menetapkan tambang Ombilin menjadi situs budaya dunia. 

Dalam museum tersebut para pengunjung bisa melihat peralatan-peralatan tambang yang digunakan dan juga perkembangan teknologi alat tambang yang digunakan juga diperlihatkan dalam museum tersebut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya