Tradisi Molubo, Adat Gorontalo yang Menjadi Pantangan Perempuan Jadi Kepala Daerah

Selain itu ada istila Tubo atau molubo yang artinya penghormatan, menjadi pantangan utama bagi wanita.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 25 Feb 2023, 23:45 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2023, 23:42 WIB
Patung langga Gorontalo
Patung langga Gorontalo. Foto:Ist (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Liputan6.com, Gorontalo - Provinsi Gorontalo terkenal dengan daerah yang sangat kental dengan adat dan istiadat. Dari dulu hingga saat ini, sebagian besar adat itu masih dipegang erat oleh warganya.

Salah satunya adat terkait dengan kaum perempuan yang tidak bisa menjadi kepala daerah. Sebab, itu sangat bertentangan dengan adat di tanah Serambi Madinah.

Adat tentang seorang perempuan tidak bisa jadi kepala daerah memang sudah ada sejak dulu. Warga Gorontalo sendiri berdasar pada pada azas adat yaitu agama islam, di mana laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.

Dengan begitu, secara adat Gorontalo, wanita tidak dibolehkan untuk menjadi pejabat atau memimpin suatu wilayah. Selain itu, ada istila Tubo atau molubo yang artinya penghormatan. Ini juga menjadi pantangan utama bagi wanita jadi pemimpin.

Dalam adat Gorontalo, bahwa dalam prosesi Tubo dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap pimpinan wilayah. Maka wanita tidak layak berada dalam posisi itu, karena yang melaksanakan peran Molubo adalah kaum laki-laki yang seharusnya dihormati oleh kaum perempuan.

Meski begitu, adat ini tidak melarang wanita menjadi pemimpin termasuk pemimpin wilayah. Kesempatan bagi wanita untuk menjadi pemimpin merupakan dinamika masyarakat modern, namun berbenturan dengan adat yang ada.

Musababnya, Gorontalo sendiri masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang dikenal dengan semboyan adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah.

"Menurut hemat saya, kalau berdasarkan semboyan yang ada, itu menandakan perempuan tidak bisa memimpin," kata Aksan Muslim pemuda Gorontalo.

"Kecuali semboyan Gorontalo adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah itu sudah tidak ada lagi, bisa memungkinkan perempuan memimpin, karena kita sudah tidak lagi memegang teguh adat," ujarnya.

Menurut Aksan, adat istiadat tetap harus dipegang teguh. Jangan sampai adat Gorontalo tinggal sebatas cerita sejarah yang tidak lagi diberlakukan. Setiap daerah memiliki adat sebagai kearifan lokal yang harus dijaga.

"Kalau memang perempuan secara ada tidak bisa memimpin suatu daerah, maka adat itu harus dilaksanakan," ungkapnya.

Dirinya menambahkan, bahwa semboyan Gorontalo itu memiliki makna yang mendalam ketika diartikan. Adat didasarkan pada agama yang dianut masyarakat.

"Gorontalo sebagai mayoritas muslim, adat dan agama tidak bisa dipisahkan, maka ketika kita memegang teguh adat, sama saja kita memegang teguh agama," ia menandaskan.

Simak juga video pilihan berikut:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya