Dua Pilihan MK, Tolak Proporsional Tertutup Atau Cari Solusi Untuk Pemilu 2024

Politisi Partai Golkar yang juga pakar hukum Henry Indraguna meminta MK tegas menolak sistem proporsional tertutup.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 15 Jun 2023, 12:10 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2023, 12:10 WIB
Henry indraguna
Henry Indraguna, anggota tim ahli hukum Wantimpres. Foto: liputan6.com/Edhie Prayitno Ige 

Liputan6.com, Semarang - Pakar hukum Dr Henry Indraguna, S.H., M.H. menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) kemungkinan besar akan menolak permohonan perubahan sistem pemilihan Pemilu. MK harus juga mencarikan jalan keluar sistem pemilihan umum terbaik dan menguntungkan rakyat dengan memilih wakil-wakilnya di parlemen yang sesuai kehendak masyarakat.

Henry berpendapat karena kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UU Dasar. 

"Jadi harus jelas dulu norma UUD yang dilanggar oleh pengaturan UU. Kalau kita telusuri, tak ada satu pun norma dalam UUD yang berkaitan dengan pilihan sistem pemilihan DPR maupun DPRD, yang secara spesifik menyebutkan bahwa sistem pemilihan dilakukan secara proporsional secara spesifik varian tertutup," kata Doktor Ilmu Hukum dari Universitas 11 Maret (UNS) dan Universitas Borobudur ini.

Ia memaparkan Pasal 22E Ayat 3 yang digunakan sebagai batu uji, hanya menyebutkan bahwa peserta Pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik. 

"Itu tidak bisa secara absolute atau eksklusif dimaknai sebagai sistem Pemilu proposional tertutup. Karena sistem Pemilu yang pesertanya Partai Politik, bukan hanya sistem proporsional terbuka atau tertutup. Terbuka atau tertutup itu kecenderungannya peserta Pemilu-nya adalah Partai Politik," kata Henry. 

Anggota Tim Ahli Hukum Perundangan-undangan Wantimpres ini juga menyatakan, dalam kasus sistem pemilihan ini harus dilihat pula keberlanjutan sikap Mahkamah Konstitusi dengan konsistensi Mahkamah Konstitusi setelah pengujian yang dilakukan pada tahun 2008.

"Setelah tahun 2008, MK tidak pernah memutuskan pilihan variabel Sistem Pemilu sebagai domain dari konstitusionalitas dalam pemaknaan MK. Mahkamah selalu menempatkan variabel teknis dari sistem pemilihan Pemilu sebagai pilihan hukum atau legal policy dari pembentuk undang-undang," ungkapnya.

Praktisi hukum yang juga politisi ini menyatakan pada tahun 2008, penetapan sistem pemilihan terbuka didasarkan pada teori keadilan. Itu yang digunakan oleh MK.

"Yang sekarang ingin dilakukan adalah mengajak MK masuk ke dalam variabel Sistem Pemilu pada layer ketiga, yang sangat teknis sekali. Yang bahkan di negara seperti Brazil atau Uruguay, dimana dalam konstitusi negaranya secara spesifik sistem pemilihannya adalah proporsional, pilihan terbuka atau tertutup diserahkan pada pembentuk undang-undang," terang Anggota Dewan Pakar Partai Golkar ini.

Henry memprediksikan, walaupun memutuskan menolak permohonan, MK tidak akan gegabah dengan membuat rambu-rambu bagi pembentuk UU dalam menyusun UU terkait penyelenggaraan Pemilu, yang akan menyimpang, anti demokrasi dan melemahkan kedaulatan rakyat.

"Akan ada ketentuan bagi pembentuk UU. Misalnya, evaluasi terhadap sistem Pemilu tidak boleh dilakukan secara terburu-buru tapi harus dilakukan melalui proses deliberasi yang terbuka, yang dipikirkan secara komprehensif, melibatkan berbagai kepentingan secara partisipatoris dan secara konsisten memenuhi elemen atau variabel teknis yang dibutuhkan dari sistem Pemilu. Juga dukungan penegakan hukum dan dukungan penyelenggaraan Pemilu yang terintegritas. Dan, Mahkamah Konstitusi akan mengingatkan tentang demokratisasi internal Partai," pungkasnya. ***

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya