Pelayanan ODGJ di Puskesmas Sleman Buat Mahasiswa Asing Terkesan

Layanan Puskesmas sangat dekat dengan masyarakat Indonesia. Ternyata layanan ini menarik minat mahasiswa asing saat mengikuti Summer Course UGM.

oleh Yanuar H diperbarui 16 Nov 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2023, 19:00 WIB
Petugas Puskesmas Cinere memberikan sosialisasi kenaikan harga tarif pelayanan kepada pasien di Puskesmas Cinere, Kota Depok.
Petugas Puskesmas Cinere memberikan sosialisasi kenaikan harga tarif pelayanan kepada pasien di Puskesmas Cinere, Kota Depok. (Liputan6.com/Dicky Agung Prihanto)

Liputan6.com, Yogyakarta - UGM menyelenggarakan Summer Course kedokteran presisi 6 hingga 17 November 2023 di kampus UGM dengan peserta 88 mahasiswa  terdiri 43 mahasiswa UGM dan 45 mahasiswa asing dari Belanda, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Mahasiswa asing terkesan saat diajak berinteraksi langsung dengan tenaga kesehatan dan ikut memberikan penyuluhan kesehatan gigi di SD Cebongan serta menyaksikan langsung rehabilitasi pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)  dengan riwayat penyakit kambuhan di Puskesmas Mlati 2.

Joost Keijer dari VU University Medical Center (VUMC) Amsterdam, mengaku senang dapat berinteraksi saat memberikan penyuluhan kesehatan ke siswa di sekolah maupun dengan tenaga kesehatan di puskesmas. 

“Kami merasa senang karena bisa bisa bertukar pikiran apa yang penting untuk kami adopsi sistem kesehatan ke depan. Saat bisa bertemu dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dan bertemu dengan pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Puskesmas jadi pengalaman baru kami,” ujarnya.

 

Joost mengakui jika pelayanan kesehatan di Indonesia berbeda jauh dengan di negaranya. Hal ini menurutnya karena penyuluhan kesehatan melibatkan tenaga kader kesehatan dan luasnya wilayah Indonesia juga beragamnya kondisi masyarakat. 

“Berbeda dengan di Belanda tidak ada posyandu dan Puskesmas. Saya lihat di Indonesia sangat memerlukan tenaga kesehatan dengan jumlah banyak untuk melayani masyarakat,” katanya.

Kim Schipper, salah satu mahasiswi VUMC Amsterdam, Belanda juga mengaku antusias berinteraksi dengan anak-anak sekolah, terutama soal pentingnya memelihara kesehatan gigi dan mulut dan menyaksikan kegiatan vaksinasi di kelas yang dilakukan oleh petugas puskesmas.

Sementara Maizatul Shariza dari Universitas Putra Malaysia merasa terkesan dengan kegiatan pelayanan kesehatan di lapangan yang menurutnya sangat erat dengan apa yang ia pelajari di kampus. 

“Saya mahasiswa prodi gizi kesehatan, apa yang saya belajar selama ini ternyata bisa memberi manfaat. Seperti membuat skrining dan program cegah stunting, kelas ibu hamil apalagi ada program yoga untuk ibu hamil. Saya dapat ide baru untuk mengatakan anak anak untuk menjaga kebersihan gigi,” ujarnya.

Psikolog Puskesmas Mlati 2 Sleman Berta Devi Aryani mengatakan di tiga kelurahan sekitar area puskesmas ada 102 pasien ODGJ. Konidisi ini perlu mendapat rehabilitasi dan perawatan intensif yang melibatkan tenaga kesehatan, pemerintah dan dukungan dari pihak keluarga pasien. 

“Kita selalu rutin memberikan edukasi menyadarkan keluarga pentingnya kesehatan jiwa, selain ada penyuluhan juga dilakukan family gathering  agar ada dukungan dari keluarga seperti apa,” ujarnya.

Aryani mengatakan untuk para pasien ODGJ yang sudah hampir sembuh, harus terus dipantau untuk setiap minggu diundang datang ke Puskesmas. Langkah ini penting untuk melakukan berbagai aktivitas kegiatan seperti berkebun hingga melukis telur dan melukis gerabah keramik. 

“Aktivitas ini melatih emosi mereka saat lagi kesal dan jengkel. Kasihan mereka jika harus konsumsi obat terus. Di sini mereka bisa ikut mewarnai dan menggambar. Menggambar telur asin dan hasilnya dijual ke konsumen dan mereka dapat uang,” kata Aryani.

Ketua Tim Internasionalisasi Akademik Gunadi mengatakan summer course yang melibatkan mahasiswa asing ini bagian dari upaya pencapain program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs terutama dalam peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.   

“Sekarang pendidikan tidak lagi pada evidence based berdasarkan pada kedokteran presisi dengan profil genomik sehingga perlakuannya juga berbeda. Calon tenaga kesehatan tidak bisa berjalan sendiri tapi lebih tapi ada kedokteran presisi, mengikuti data genomik pasien,” katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya