Potret Kemiskinan Nelayan Pelabuhanratu Sukabumi

Sistem langgan antara para nelayan dan tengkulak yang menjadi kebiasaan, diperparah dengan menurunnya hasil tangkapan ikan, akibat air laut tercemar dampak dari PLTU.

oleh Fira Syahrin diperbarui 11 Jul 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2024, 00:00 WIB
Nelayan Pelabuhanratu Sukabumi saat hendak menjajakan hasil tangkapan ikan kepada para tengkulak (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Nelayan Pelabuhanratu Sukabumi saat hendak menjajakan hasil tangkapan ikan kepada para tengkulak (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Liputan6.com, Sukabumi - Nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan, maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan ukuran paling besar 10 gros ton.

Penjelasan itu tertuang dalam Undang-undang RI nomor 7 tahun 2016 mendefinisikan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Masyarakat nelayan kecil di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi yang sulit diubah adalah sistem langgan yang sudah mendarah daging. Sistem langgan terjadi ketika nelayan tidak lagi memiliki modal untuk melaut. 

Keadaan ini memaksa nelayan untuk meminjam uang kepada para tengkulak. Bentuk timbal baliknya, nelayan harus menjual ikan hasil tangkapannya. 

Bayaran tengkulak ini bisa berupa bakul ikan, di mana dalam hubungan jual beli ikan antara para nelayan dan bakul atau pedagang sering bersifat mengikat daripada atas dasar sukarela. Kondisi tersebut semakin memperjelas potret kemiskinan yang dialami sebagian besar nelayan di pesisir Selatan Sukabumi

Hal ini terjadi karena para nelayan tersebut secara rutin dan berkesinambungan mendapatkan uang pengikat atau yang dikenal dengan istilah ‘ijon’ dari para tengkulak ikan.

Keadaan saling mengikat antara nelayan dan tengkulak ikan terus berlanjut dan tidak diketahui sampai kapan berakhirnya. Bahkan, informasi utang nelayan hanya didapat informasinya dari tengkulak.

Selain hubungan yang tidak seimbang tersebut, nelayan juga menghadapi masalah dimana sebagian wilayah sumber daya kelautan dipagari untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhanratu. Salah satunya sebagai transportasi pengangkut batu bara.

Kuatnya ikatan tersebut dan penetrasi pembangunan, ada aktor baru yaitu pihak PLTU Pelabuhanratu semakin memperkuat dampak kemiskinan pada nelayan di Pelabuhanratu.

Sehingga tidak ada pilihan bagi nelayan, selain adanya ketergantungan kepada para tengkulak.

Dampak lingkungan dari kapal besar pengangkut batu bara PLTU dan kapal besar lainnya membuat lautan menjadi penuh dengan kotoran industri. Hal ini membuat ikan-ikan enggan mendekat ke teluk Pelabuhanratu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Para Nelayan Kecil Terpaksa Berlayar Puluhan Mil untuk Mendapat Ikan

Perahu nelayan di perairan laut dekat PLTU Pelabuhanratu Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Perahu nelayan di perairan laut dekat PLTU Pelabuhanratu Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Kondisi itu memaksa nelayan kecil untuk berlayar puluhan mil demi mendapatkan tangkapan besar. Namun, hal ini tidak seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan hingga penghasilan yang didapat minim juga mempengaruhi besar perekonomian nelayan.

“Beda banget bedanya jauh. kalau dulu kan belum ada istilah seperti sekarang kan PLTU terus dulu mah gak pake solar kan bensin kebanyakan sama minyak tanah,” ucap seorang nelayan, Tandim. 

Selain itu, Tandim menyebut kerap menemukan limbah oli diduga berasal dari kapal besar. Hal itu juga mempengaruhi keberadaan ikan, jika dulu ikan-ikan bisa didapat di teluk pantai, kini dia harus berlayar lebih jauh ke tengah laut untuk mendapat tangkapan. 

Adanya limbah yang bersumber dari mobilitas PLTU itu, kata Tandim, kerap menimbulkan bau tak sedap. Hal itu dinilai mempengaruhi keberadaan ikan yang semakin menjauh dari teluk pantai. 

“Kalau nelayan kecil paling berapa liter (solar), paling jago juga bawa 2 atau 3 jerigen. Tapi kalau kapal-kapal pas mau buang itu kan banyak itu puluhan ton. makanya seperti oli aja, oli bekas oli itu kalau dilihat sama saya kemarin aja kena jaring trammel net wah ini apaan berat, pas dibuka oli,” tuturnya. 

Kondisi itu memaksa sebagian besar nelayan masuk dalam jerat kemiskinan. Tandim mengatakan, biasanya dengan jarak sekitar 3 mil saja ikan sudah bisa ditangkap. Kini nelayan harus mencari ikan dengan jarak laut hingga puluhan mil. 

“Dulu layur asal mau aja, sekarang jauh layur juga susah. Dulu mah sekitar 3 mil dapet layur, sekarang mah harus sekian mil baru dapet. jauhlah sekarang mah ikan itu gak bisa mendekat kaya dulu,” ungkapnya.

 


Beberapa Nelayan Tak Mampu Pergi Mengobati Sakit yang Diderita

Nelayan Pelabuhanratu hanya bisa meratapi nasib anaknya yang menderita disabilitas intelektual. Di tengah kondisi sulitnya mencari ikan di teluk pantai (Liputan6.com/Fira Syahrin)
Nelayan Pelabuhanratu hanya bisa meratapi nasib anaknya yang menderita disabilitas intelektual. Di tengah kondisi sulitnya mencari ikan di teluk pantai (Liputan6.com/Fira Syahrin)

Potret kemiskinan nelayan kecil ini terlihat jelas di Kampung Camara, Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Banyak nelayan yang kondisinya kini di bawah garis kemiskinan, begitupun kehidupannya sangat mengkhawatirkan.

Bahkan beberapa nelayan tak sanggup membawa keluarganya atau dirinya untuk mendapatkan pengobatan. Seperti salah satunya Wargi, dirinya kini tak bisa lagi bisa melaut. 12 tahun sudah kedua kakinya tak lagi mampu menopang badannya.

Wargi terjatuh di kapal saat di dermaga, kemudian dipijat dan akhirnya mengalami kelumpuhan. Wargi divonis menderita rematik basah karena saat masih aktif menjadi nelayan, Wargi sering mencari udang pada waktu dini hari untuk menambah penghasilan menghidupi istri dan anak-anaknya.

“12 tahun, enggak bisa jalan. Awalnya cari udang pakai jaring, orang pada tidur, dia malam ke tengah laut, jam 2 atau 3 malam,” ucap Sartimah, istri Wargi. 

Sartimah menyebut, suaminya itu sempat menjalani pengobatan setiap satu bulan sekali. Namun, karena kondisi ekonomi yang semakin menurun. Pengobatan Wargi pun terpaksa dihentikan. 

“Pernah sebulan sekali, sekarang mah enggak, sudah hampir setahun. Uangnya enggak ada,” tuturnya. 

Nasib serupa pun dialami oleh Tarmidzi, ia harus berjibaku menjadi ibu sekaligus ayah bagi putra bungsunya yang menderita disabilitas intelektual. Berbeda dengan teman sebayanya, Suwandi putra bungsu Tarmizi ini sehari-hari hanya bisa berdiam di rumah petak seluas 5 x 6 meter.

Gangguan pada syaraf yang dideritanya sejak usia 3 tahun, membuat Suwandi sering mengalami kejang-kejang hingga sekarang usianya 18 tahun. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan dirinya.

“Waktu pertama kejang itu kan gak ada yang tahu ya nyangka orang itu udah enggak ada, sampai 3 hari itu pingsan dibawa ke rumah sakit enggak sadar, di rumah sakit 3 hari,” ucap Tarmidzi.

“Kalau ada memang mau masih ada harapan, habis saya pernah nanya ke dokter ini mah dari lahir obat apa pun enggak bisa. Kalau misal sembuh, sembuh sendirinya, kata dokter gitu,” sambung dia.

Nelayan dan kekayaan laut tidak bisa dipisahkan. Indonesia dengan kekayaan maritim harus dijaga dan diberdayakan pemanfaatannya. Salah kelola akan berdampak besar akan kelangsungan hidup penerus bangsa yang akan datang.

Problem kemiskinan masyarakat pesisir pada umumnya karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan akan terpenuhinya sandang, papan, pangan kesejahteraan dan fasilitas pendidikan, maupun keagamaan.

Sisi lain, kurangnya akses informasi, serta upaya dalam proses berusaha, melakukan informasi pemberdayaan tangkapan laut dengan teknologi dan permodalan, termasuk kekuatan pemahaman keagamaan dan gaya hidup. Membuat posisi daya tawar masyarakat miskin semakin lemah dan dilemahkan.

Kebijakan pemerintah yang telat menyadari pentingnya posisi maritim kenegaraan dan kurang peduli terhadap masyarakat pesisir harus segera disikapi dengan program yang terstruktur dan masif. Sehingga membawa kembali kejayaan kemaritiman di Indonesia.

 


Tanggapan Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi soal Tengkulak

Perahu nelayan Pelabuhanratu, Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Perahu nelayan Pelabuhanratu, Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi, Sri Padmoko menilai, kebiasaan saling mengikat antara nelayan dan tengkulak atau kerap disebut ‘ijon’ itu dipengaruhi oleh biaya transportasi berlayar yang tak sebanding dengan hasil tangkapan. 

“Memang kondisi umum dari dulu yang terjadi yang sulit untuk kita hindari karena nelayan melaut yang paling besar itu biaya operasionalnya adalah di BBM dengan peningkatan harga BBM,” ujar Padmoko saat dikonfirmasi pada Selasa (9/7/2024).

Nelayan kapal kecil dengan ukuran di bawah 5 gros ton cenderung menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin. Harga kenaikan bensin ini, kata Padmoko, berpengaruh besar pada biaya yang harus dikeluarkan nelayan dalam sekali perjalanan menangkap ikan. 

Pada saat yang sama, dalam menentukan nilai jual ikan di pasaran itu ditentukan dari akumulasi biaya produksi ikan, seperti harga BBM, dan permintaan pembeli. Dia mencontohkan, jika biaya operasional 70 persen, lalu ada kenaikan BBM sebesar 30 persen, maka akan menghasilkan harga tangkapan yang diterima nelayan sekitar 20 persen. 

“Kalau harga tangkapannya itu naik 20 persen mereka baru mendapatkan titik sama kenaikannya. Sementara kita diberikan tugas untuk mengendalikan inflasi, inflasi itu karena harga jual yang terlalu tinggi. Inilah yang kondisi nelayan menjadi sulit karena kenaikan harga ikannya tidak mencapai 20 persen,” jelasnya. 

“Tapi simalakama karena memang kita tidak bisa menaikkan harga pasar, (tapi) daya belinya menurun tinggi. Kondisi ini yang membuat nelayan itu semakin terjepit,” sambung dia. 

Kondisi itu memaksa nelayan kecil harus meminjam ke tengkulak untuk mendapatkan biaya operasional, lalu akan dibayar dengan hasil tangkapan ikan. 

“Ketika pinjam ke bakul nanti dibayar hasil tangkapan, orang mengatakan itu menjadi ijon tengkulak. Jadi kondisi tengkulak ini kalau menurut saya memang keadaan, bukan diciptakan. Padahal, sebenarnya niatnya bukan karena ijon, tapi kondisi yang membuat nelayan menjadi lebih sulit,” jelasnya.

 

 


Kata Pemda Soal Isu Kemiskinan Nelayan

Nelayan Pelabuhanratu Sukabumi saat hendak menjajakan hasil tangkapan ikan kepada para tengkulak (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Nelayan Pelabuhanratu Sukabumi saat hendak menjajakan hasil tangkapan ikan kepada para tengkulak (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Disinggung soal tingkat kemiskinan nelayan Kabupaten Sukabumi, pihaknya mengatakan secara umum angka kemiskinan itu menurun. Kendati pihaknya tak menyebut detail perbandingan data dari tahun ke tahun.

Padmoko juga menanggapi kondisi nelayan di suatu daerah dengan ekonomi di bawah garis kemiskinan. Menurutnya, dalam menangani permasalahan itu secara umum mengacu pada UU nomor 23 tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah di Bidang Perikanan Kelautan, khususnya nelayan. 

“Pemda khusus Dinas Perikanan ini hanya 2 tupoksi, pemberdayaan nelayan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan. Dalam konsep pemberdayaan nelayan, kami memberikan bantuan sarana prasarana diserahkan kepada masyarakat sebagai pemberdayaan. Kita tidak masuk kepada nelayan untuk jaminan sosial,” jelasnya.

Lanjut dia, data nelayan dalam kategori di bawah garis kemiskinan itu nantinya akan diserahkan kepada Dinas Sosial untuk penanganan lebih lanjut. Sementara, pihaknya lebih ditujukan menangani pemberdayaan para nelayan.

“Yang jelas kami pertama fasilitasnya pendataan untuk meyakinkan bahwa yang bersangkutan adalah nelayan. Bukti mereka adalah nelayan adalah mereka memiliki namanya kartu kusuka (kartu pelaku usaha kelautan dan perikanan) untuk perikanan tangkap,” ujarnya.

 


Legalitas Penangkapan Benih Lobster

Perahu nelayan Pelabuhanratu, Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).
Perahu nelayan Pelabuhanratu, Sukabumi (Liputan6.com/Fira Syahrin).

Menurut Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi, salah satu indikator menurunnya kemiskinan nelayan yaitu dilihat dari peluang legalitas penangkapan benih lobster. 

Aturan terbaru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp). Mengenai perizinan penangkapan benih lobster untuk didistribusikan, dijual untuk dibudidayakan di luar negeri.

“Karena potensi benih lobster yang sangat besar ini sangat membantu nelayan, kenapa? Karena untuk nelayan kecil jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Biaya produksinya tidak terlalu besar,” tuturnya. 

Selain itu, pihaknya mengimbau agar para nelayan memiliki kartu Kusuka, agar bisa mendapatkan program pemberdayaan dari Pemda. Serta mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan.

“Pekerjaan nelayan itu adalah pekerjaan beresiko tinggi maka kami menghimbau kepada nelayan untuk satu mendaftarkan dirinya. Karena itu menjamin perlindungan nelayan, menjamin keselamatan dan ada jaminan hari tua,” tutupnya.

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya