Penyebab Penurunan Suhu di Musim Kemarau Indonesia, Peneliti BRIN Sebut Terkait dengan Fenomena Aphelion

Eddy menjelaskan kawasan yang diserang suhu dingin ini dimulai dari kawasan timur Indonesia yaitu kawasan NTT, NTB, dan Bali, kemudian merambat ke Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

oleh Arie Nugraha diperbarui 08 Agu 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2024, 00:00 WIB
Jakarta cuaca panas
Suhu di DKI Jakarta berkisar antara 24-36 derajat celcius dengan tingkat kelembaban 40 sampai 75 persen. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Bandung - Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, mengatakan fenomena penurunan suhu di sejumlah wilayah di Indonesia, belakangan ini memiliki kaitan dengan Aphelion.

Meskipun secara tidak langsung dan kecil kemungkinannya, Eddy menyebutkan suhu dingin yang terjadi akibat iklim global.

"Mungkin lebih pasnya itu perubahan iklim regional atau lokal. Tipe wilayah yang memiliki perbedaan jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau atau monsunal relatif dominan diserang suhu dingin," ujar Eddy dicuplik dari laman BRIN (4/8/2024).

Eddy menjelaskan kawasan yang diserang suhu dingin ini dimulai dari kawasan timur Indonesia yaitu kawasan NTT, NTB, dan Bali, kemudian merambat ke Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Namun, menurut Eddy kecil kemungkinan suhu dingin ini akibat dari global warming. Sebab semakin warming di permukaan, maka semakin cooling (dingin) di lapisan stratosfer, begitupun sebaliknya.

"Ada satu atau dua kota di kawasan Timur Indonesia yang suhunya jauh di bawah normal, suhunya sudah rendah sebelum aphelion. Jadi sebelum aphelion muncul, sudah menunjukkan perubahan suhu di bawah normal," ungkap Eddy.

Eddy menduga bahwa, hampir semua kawasan bertipe monsunal mengalami fenomena suhu rendah. Tetapi, jika menurunnya suhu ini akibat setelah aphelion muncul.

Karena tidak ada satu suhu sebelum tanggal kemunculan aphelion di bulan Juli yang tetiba menurun di kawasan Timur Indonesia.

"Jadi aphelion muncul baru suhu drop, bukan karena suhunya drop baru aphelion muncul," tandas Eddy.

Eddy menerangkan evolusi pergerakan semu matahari terhadap bumi ini akan diikuti dengan evolusi perubahan suhu di permukaan bumi.

Polanya mirip, namun ada jeda waktu atau lag-time. Dirinya mengkonfirmasi adanya penurunan suhu yang terjadi diakibatkan oleh bertiupnya udara dingin dari wilayah Australia.

"Udara dingin yang bertiup dari wilayah Kutub Selatan ini akibat fenomena aphelion yang menyebabkan wilayah bumi bagian selatan tidak mendapatkan panas matahari," sebut Eddy.

Eddy meminta kepada para periset untuk tidak hanya berfokus pada pergerakan massa uap air kering yang berasal dari Benua Australia, menuju belahan bumi utara yang melintasi kawasan timur Indonesia saja. Namun juga diikuti dengan penelitian sebab lainnya.

"Jadi kalau ada satu dua kawasan yang mengikuti pola itu, dugaan saya mekanismenya masih perlu dikaji dan diteliti. Apa ada pengaruh posisi matahari terjauh dari bumi yang menyebabkan suhu menjadi drop," sebut Eddy.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Penjelasan Staklim BMKG Bandung

Dilansir Kanal Regional, Liputan6, suhu udara di Bandung pada Juli ini terasa lebih dingin, terutama terasa saat malam, pagi dan dini hari.

Menurut pencatatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi (Staklim) Bandung, suhu minimum Bandung memasuki pekan kedua Juli mencapai 16,6 °C. Sebelumnnya, suhu minimum terendah di dasarian-I Juli tercatat di 19.8 °C.

Kepala BMKG Bandung, Teguh Rahayu menerangkan, suhu udara dingin belakangan merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi ketika masa puncak kemarau pada Juli-Agustus.

"Suhu udara minimum mengalami perubahan signifikan pada hari ini (14/7/2024) yaitu mencapai 16 6 derajat Celsius. Nilai suhu minimum normal rata rata pada bulan Juli adalah 18,2 derajat Celsius, dan pada Agustus nilainya 17,5 derajat Celsius," katanya lewat laporan tertulis.

Rahayu menyampaikan, pada siang hari saat musim kemarau, terik sinar matahari maksimal karena tidak ada tutupan awan, akibatnya permukaan bumi menerima radiasi yang maksimal.

Pada malam hari, bumi akan melepaskan energi. "Karena tidak ada awan, maka di malam hari hingga dini hari, radiasi yang disimpan di permukaan bumi akan secara maksimal dilepaskan. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan permukaan bumi mendingin dengan cepat karena kehilangan energi secara maksimal. Dampaknya adalah suhu minimum atau udara dingin yang ekstrem di malam hingga dini hari," katanya.

Selain itu, penyabab tambahan suhu udara dingin pada puncak musim kemarau adalah karena adanya musim dingin di wilayah Australia.

Terdapat pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan masa udara dingin menuju Indonesia atau lebih dikenal dengan angin monsun Australia yang juga merupakan penyebab utama terjadinya musim kemarau di Indonesia.

"Angin monsun Australia ini membawa udara yang dingin dan kering yang berada di wilayah Australia ke wilayah Indonesia yang berada di wilayah BBS (Belahan Bumi Selatan)," jelasnya.

Fenomena suhu dingin ini secara empiris akan berlangsung hingga Agustus 2024. Oleh karena itu, Rahayau mengimbau masyarakat agar tidak panik terakit fenomena itu.

"Suhu dingin pada puncak musim kemarau adalah suatu fenomena yang wajar terjadi terutama untuk wilayah Indonesia di BBS," katanya.

"Saat ini wilayah Jawa Barat termasuk Bandung Raya berada pada awal musim kemarau masyarakat diimbau agar menjaga kesehatan, mengurangi aktivitas di luar ruangan terutama pada waktu malam hingga dini hari, serta diharapkan selalu mengupdate informasi cuaca dan iklim melalui web dan media sosial resmi BMKG," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya