OPINI: Ketika FOMO Boneka Labubu Mengerek Harga dan Status Sosial

Kebanyakan, fenomena ini terkait dengan kebutuhan tersier, seperti konser, wisata, kuliner, bahkan terakhir, masyarakat berbondong-bondong mencari segala pernik Labubu.

oleh Ramdania El Hida diperbarui 06 Okt 2024, 22:21 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2024, 22:20 WIB
Labubu
Melihat tren boneka Labubu yang viral di industri fashion.

Liputan6.com, Jakarta - FOMO, istilah yang sering terdengar atau terlintas di media sosial masyarakat akhir-akhir ini. Singkatan dari Fear of Missing Out (FOMO) ini telah menjadi salah satu pendorong utama dalam perilaku konsumen pada era digital.

Pada fenomena FOMO, orang cenderung merasa takut ketinggalan tren jika tidak segera berpartisipasi. FOMO merupakan suatu kondisi seseorang merasa takut, gelisah, atau khawatir jika orang lain memiliki pengalaman berharga dan menyenangkan dibandingkan dengan diri sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk terus terkait dengan aktivitas orang lain (Przybylski, 2013).

Kebanyakan, fenomena ini terkait dengan kebutuhan tersier, seperti konser, wisata, kuliner, bahkan terakhir, masyarakat berbondong-bondong mencari segala pernik Labubu. Sebuah karakter dalam seri The Monsters yang diciptakan seniman Kasing Lung dan diproduksi oleh Pop Mart.

Karakter ini merupakan sosok peri yang memiliki ciri khas bulu berwarna-warni dengan telinga panjang dan gigi runcing yang menyeringai menampilkan senyuman nakal. Meskipun ada karakter lain dari “The Monsters” seperti Zimomo, Tycoo, dan Spooky, tetapi Labubu lah yang kini tersohor.  

Karakter unik ini telah mencuri perhatian banyak orang mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa atau biasa disebut dengan istilah kidult, influencer bahkan sampai dengan kolektor mainan dan pecinta fashion. Setelah Pop Mart mendapatkan lisensi eksklusif untuk memproduksi dan menjual karakter “The Monster” pada 2019, kepopuleran boneka ini meningkat sangat pesat.

Ledakannya, ketika Lisa BLACKPINK mengunggah boneka karakter ini di Instagram miliknya pada April 2024. Unggahan ini menarik banyak perhatian masyarakat terutama di Asia khususnya Thailand. Kepopulerannya semakin meluas ke berbagai negara termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, dan negara Asia lainnya.

Dampaknya, boneka Labubu yang memiliki desain unik dan menggemaskan dengan edisi terbatas dan eksklusivitasnya, menjadi buruan para kolektor. Hal ini menciptakan efek kelangkaan, yang memicu keinginan untuk memiliki sebelum kehabisan. Kesan eksklusivitas Labubu membuat orang rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya demi mengikuti sebuah tren. Diketahui, harga sebuah boneka Labubu termahal bisa mencapai Rp2,5 juta.

Lalu bagaimana FOMO boneka Labubu ini ditinjau dari sisi ekonomi? Bagaimana pendekatan teori demand supply memandang fenomena tersebut?

Analisis Teori Permintaan dan Penawaran

Boneka Labubu
Boneka Labubu yang viral gara-gara Lisa BLACKPINK. (dok. Instagram @kasinglung/https://www.instagram.com/p/C6luLMxilWY/)

Dalam ekonomi mikro permintaan dan penawaran berinteraksi untuk menentukan harga dan kuantitas yang dijual. Dalam kasus Labubu, keterbatasan stok dan edisi terbatas menciptakan permintaan yang tinggi dan tidak terpenuhi secara sempurna.

Ini mengakibatkan peningkatan harga dan kenaikan permintaan, yang kemudian memicu peningkatan penjualan online boneka Labubu pada platform e-commerce. Data statistik pada tahun 2023 menunjukkan penjualan mainan online meningkat 15% dengan kontribusi terbesar berasal dari tren koleksi seperti ini.

Secara matematis, jika kita mengasumsikan bahwa permintaan boneka Labubu dapat digambarkan dengan fungsi permintaan yang positif dan sensitif terhadap harga, maka keterbatasan stok akan meningkatkan harga dan memicu peningkatan permintaan. Permintaan mengacu pada jumlah barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga.

Permintaan terhadap boneka Labubu menunjukkan karakteristik yang dipengaruhi oleh FOMO. Setelah Lisa BLACKPINK mengunggah boneka tersebut, terjadilah lonjakan permintaan yang signifikan. Permintaan akan mengalami peningkatan yang menggeser kurva permintaan ke kanan (demand shift), di mana popularitas dan eksklusivitas produk menciptakan permintaan yang lebih tinggi meskipun harga tetap tinggi.

Jika dalam fenomena labubu ini, secara tidak langsung ada dua faktor yang memengaruhi permintaan, yaitu pertama faktor media sosial, di mana konten viral di platform seperti Instagram dan TikTok menciptakan rasa urgensi di kalangan konsumen untuk memiliki boneka Labubu agar tidak merasa tertinggal.

Faktor yang kedua karena keterbatasan stok. Pop Mart sering merilis edisi terbatas dari boneka ini, menciptakan efek kelangkaan yang mendorong konsumen untuk membeli segera sebelum kehabisan. Dalam kasus ini, penawaran terbatas karena produksi edisi terbatas dan tingginya permintaan menyebabkan harga melonjak. Hal ini menciptakan situasi di mana konsumen bersedia membayar lebih untuk mendapatkan produk yang dianggap eksklusif.

Dengan harga yang terus melonjak, tren Labubu telah mengubah boneka ini dari sekadar mainan menjadi simbol status di kalangan penggemar dan kolektor. Bagi mereka, memiliki boneka Labubu menjadi sebuah prestise tersendiri. Beberapa kolektor bahkan rela membayar harga premium untuk mendapatkan boneka edisi langka yang sudah habis terjual di toko resmi.

Boneka Labubu, dengan harga yang relatif tinggi dan desain yang unik, menjadi salah satu cara bagi individu untuk menunjukkan identitas sosial mereka. Dalam konteks ini, teori preferensi konsumen menjelaskan bahwa individu tidak hanya memilih produk berdasarkan utilitas fungsionalnya, tetapi juga berdasarkan nilai simbolis yang melekat pada produk tersebut.

Melihat semua orang membeli boneka Labubu, ada rasa ingin mengikuti perilaku itu. Beranggapan bahwa akan terlihat keren jika memiliki boneka Labubu. Kalau tidak membeli, rasanya seperti ada yang kurang bahkan takut di pandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya.

Pada akhirnya preferensi seseorang dalam membeli suatu barang bukan lagi didasari karena kebutuhan melainkan untuk mendapatkan validasi sosial. Dan jika terus berlanjut dampaknya akan menciptakan konsumen yang impulsive dan compulsive buying. Impulsive buying yaitu suatu kebiasaan membeli tanpa memikirkan manfaat dan kebutuhan sebenarnya, sedangkan compulsive buying yaitu kecenderungan membeli barang untuk mendapatkan pengakuan.

Pengaruh Media Sosial

Labubu
Melihat tren boneka Labubu yang viral di industri fashion.

Fenomena FOMO boneka Labubu mencerminkan interaksi kompleks antara permintaan dan penawaran dalam ekonomi mikro. Keterbatasan stok dan pengaruh media sosial telah menciptakan pasar yang dinamis, di mana konsumen merasa terdorong untuk membeli meskipun harga tinggi.

Dengan meningkatnya popularitas koleksi mainan di kalangan dewasa, tren ini tidak hanya menunjukkan perilaku konsumsi saat ini tetapi juga menyoroti bagaimana faktor sosial dapat memengaruhi keputusan ekonomi individu.

 

Penulis: Dr. Fitri Amalia, M.Si (Dosen Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya