Saat Sang Pengadil Menuntut Keadilan: 12 Tahun Tak Ada Perubahan Kesejahteraan

Para hakim pengadil di seluruh Indonesia menggelar aksi mogok kerja 7-11 Oktober 2024 demi menuntut kesejahteraan.

oleh Ahmad ApriyonoRamdania El Hida diperbarui 09 Okt 2024, 07:29 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2024, 12:53 WIB
Palu hakim
Ilustrasi hakim pengadilan. (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Hakim di semua daerah di Indonesia mulai 7 Oktober 2024 mogok kerja menuntut peningkatan kesejahteraan, karena sudah 12 tahun gaji hakim tak pernah naik. Sejak 2019, para hakim, melalui Ikatan Hakim Indonesia, telah mendorong adanya perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di bawah Mahkamah Agung, namun tuntutan itu tak jua terpenuhi.

Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) Fauzan Arrasyid mengklaim ada sebanyak 1.730 dari 7.700 hakim yang bakal mengikuti aksi cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024.

Meski tak semua hakim mengiyakan imbauan itu, namun terselip doa dan dukungan kepada rekan-rekan hakim yang menyuarakan kesejahteraan bersama. Hakim-hakim di Pengadilan Negeri Aceh misalnya. Mereka lebih memilih menggelar doa bersama daripada mogok kerja.

"Kami, para hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh mendukung perjuangan rekan-rekan hakim menuntut kesejahteraan dengan seruan mogok. Namun, dukungan yang kami berikan dalam bentuk doa bersama," kata Humas PN Banda Aceh Jamaluddin.

Dari rapalan doa para hakim, Jamal berharap, perjuangan teman-teman menuntut kesejahteraan hakim dapat dikabulkan.

Jamaluddin mengatakan, PN Banda Aceh tidak bisa begitu saja mogok dan menghentikan pelayanan hukum, karena akan berdampak pada masa tahanan terdakwa. Belum lagi ada perkara-perkara yang butuh selesai cepat. Jika penyelesaian perkara terhambat tentu saja yang paling dirugikan adalah masyarakat pencari keadilan.

Pada intinya, kata Jamaluddin, para hakim di PN Banda Aceh mengharapkan pemerintah mengabulkan tuntutan kesejahteraan hakim, selain juga hal inipenting dilakukan untuk menjaga muruah para hakim. "Selama 12 tahun tidak ada perubahan terhadap kesejahteraan hakim. Jadi, tuntutan ini merupakan hal wajar karena menyesuaikan dengan kekinian agar muruah pengadilan terjaga," kata Jamaluddin.

Sama seperti hakim-hakim di Banda Aceh, di Palembang, para hakim PN Klas 1A Palembang, tetap bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meski begitu, Ketua Pengadilan Negeri Palembang DJU Jhonson Mira Mangngi tetap ikut menggelar aksi tanpa harus menghentikan pelayanan.

"Aksi yang kami lakukan merupakan bentuk dukungan kepada IKAHI pusat terkait tunjangan para hakim, oleh pemerintah," katanya, Senin (7/10/2024). 

Jhonson mengatakan, jika kesejahteraan hakim terpenuhi makan akan terwujud hakim yang berintegritas dan bertekad mewujudkan lembaga pengadilan yang independen sebagai pilar utama keadilan.

Ia menambahkan bahwa IKAHI Palembang mendukung IKAHI pusat untuk memperjuangkan seluruh peraturan perundang-undangan mengenai kesejahteraan hakim.

Ketua IKAHI Palembang Fauzi Isra menambahkan bahwa pihaknya melakukan aksi solidaritas di daerah sebagai bentuk dukungan atas aksi yang dilakukan oleh IKAHI pusat.

Masriati, seorang hakim di PN Palembang mengaku bisa melakukan persidangan sebanyak 46 persidangan dalam satu hari dan biasa pulang pernah hingga pukul 23.55 WIB.

Ia berharap tunjangan kesejahteraan hakim yang selama ini dinilai masih belum mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup dapat diperhatikan oleh pemerintah. Sementara di tempat yang lain, di Pengadilan Negeri Klas 1A Makassar, sebanyak 48 hakim benar-benar mogok tak bekerja. Mereka menggelar aksi solidaritas ‘Gerakan Cuti Bersama 7-11 Oktober 2024’.

Koordinator aksi Johnicol Richard Frans Sine dalam paparannya menyebutkan beberapa tuntutan. Pertama, meminta pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pemenuhan hak hakim atas kesejahteraan dan perumahan dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim.

Kedua, Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, Perpres nomor 42 tahun 2023 tentang Perubahan atas (Perpres) nomor 5 tahun 2013, dan melakukan penyesuaian atas kondisi ekonomi faktual saat ini, serta mempertimbangkan besarnya tanggung jawab profesi hakim dan menyesuaikan dengan standar hidup yang layak. "Revisi yang kami harapkan tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek atau saat ini saja, namun kami berharap Pemerintah melakukan penyesuaian secara berkala setiap tahunnya terhadap hak atas keuangan para hakim," ungkap Richard.

Pihaknya juga menuntut Pemerintah dan DPR RI untuk memberikan pemenuhan hak atas fasilitas yang layak bagi Hakim, utamanya hak atas perumahan, transportasi dan kesehatan. Terhadap hakim yang ditempatkan di daerah terluar, terpencil, dan di daerah kepulauan agar dapat diberikan tunjangan kemahalan, dan khusus terhadap hakim ad hoc agar dapat diberikan tunjangan pajak (PPH 21) dan tunjangan purna tugas.

Ketiga, mendorong negara dalam hal ini pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi Hakim dalam pelaksanaan tugasnya yang sudah diatur dalam peraturan perundang- undangan. Selain itu, mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Contempt of Court yang memberikan perlindungan bagi kehormatan pengadilan.

Keempat, mendorong negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Jabatan Hakim. Beberapa peraturan perundang-undangan pada fungsi yudikatif telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Baik hakim karier maupun hakim ad hoc secara bersama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Oleh karena itu, baik hakim karier maupun hakim ad hoc sebagai pelaksana fungsi yudisial harus ditetapkan sebagai pejabat negara. Dalam penyataan sikap tersebut, bila tuntutan diterima para hakim berjanji bekerja secara profesional.

"Untuk itu kami Hakim berjanji untuk, pertama menjaga integritas, kemandirian, kejujuran. Kedua, memberikan pelayanan yang profesionalitas kepada masyarakat pencari keadilan," ucapnya. Ketiga, memberikan pelayanan yang akan akuntabel, responsif dan keterbukaan. Keempat, memberikan pelayanan yang tidak berpihak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. 

Hakim di Pengadilan Negeri Mataram, NTB, juga ikut mendukung aksi solidaritas hakim Indonesia dengan menunda seluruh agenda persidangan yang berlangsung pada 7 hingga 11 Oktober 2024.

"Kami, hakim Pengadilan Negeri Mataram menunda persidangan pada pekan ini untuk mendukung solidaritas hakim Indonesia yang lagi audiensi dengan Komisi III DPR RI untuk persoalan kesejahteraan hakim di seluruh Indonesia," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Keli Trimargo.

Meski begitu, katanya, ada beberapa agenda siding yang tetap berlanjut, seperti siding mempertimbangkan masa penahanan terdakwa.

 "Yang sudah kadung ditetapkan, tetap lanjut sidang dan ada juga yang melihat masa penahanannya mau habis, itu tetap disidang juga," katanya. Kelik mewakili para hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Mataram turut menyampaikan harapan agar pemerintah dapat menyetujui tuntutan dalam aksi solidaritas ini.

"Harapan kami, hakim di Mataram agar pemerintah juga memikirkan kesejahteraan hakim, keamanan hakim, kesehatan hakim, dan sarana dan prasarana seperti yg dijanjikan dahulu oleh pemerintah," kata Kelik.

Sementara itu, saat Sebagian besar hakim di Indonesia menunda siding bahkan ada yang mogok, di Yogyakarta PN setempat tetap melaksanakan siding, bahkan jadwalnya lebih banyak dari hari-hari sebelumnya.

"Tetap melaksanakan persidangan. Hari ini malah banyak sekali, mungkin lebih dari 25 persidangan," kata Humas PN Yogyakarta Heri Kurniawan.

Heri memastikan sebanyak 27 hakim yang tercatat bertugas di PN Yogyakarta tidak satupun yang mengajukan cuti. Meski begitu, kata Heri, seluruh hakim di PN Yogyakarta kompak memasang pita putih pada lengan mereka sebagai bentuk dukungan atas aksi nasional menuntut kesejahteraan hakim.

Heri mengatakan, sedianya para hakim di PN Yogyakarta telah siap mengikuti aksi cuti massal itu, namun akhirnya memutuskan menunda terlebih dahulu sembari menunggu perkembangan hasil audiensi kenaikan gaji hakim di tingkat pusat.

"Kita tetap mendukung dengan menggunakan pita putih dalam proses persidangan atau selama aksi massal itu," ujar dia.

Selain menunggu perkembangan di tingkat pusat, lanjut Heri, persidangan tetap digelar lantaran tidak sedikit perkara yang ditangani tengah masuk tahap pemeriksaan, bahkan putusan sehingga riskan jika ditinggalkan.

"Memang kadang ada yang sudah masuk dalam tahap pemeriksaan, kemudian putusan. Itu kan agak riskan juga ketika tidak dilakukan, karena nanti terkait masalah penahanan segala macam," ujar dia.

Meski demikian, apabila tuntutan kesejahteraan itu tidak kunjung membuahkan hasil, menurut Heri, para hakim di PN Yogyakarta kemungkinan besar bakal turut serta melakukan cuti massal sebagaimana hakim di wilayah lain.

"Kalau dari atas itu sudah tidak bisa dibendung lagi dan memang tidak ada ke arah yang kita harapkan, tidak ada tanda-tanda istilahnya 'hilal'-nya tidak kelihatan, kemungkinan ya akan terjadi seluruh hakim akan melakukan aksi seperti tahun 2012 waktu kenaikan gaji pertama," kata dia.

Sebelumnya aksi solidaritas hakim Indonesia menggaung di berbagai penjuru Indonesia lewat Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia secara serentak pada 7–11 Oktober 2024. Gerakan tersebut sebagai perwujudan komitmen para hakim untuk memperjuangkan kesejahteraan, independensi, dan kehormatan lembaga peradilan di Indonesia.

Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia Fauzan Arrasyid dalam keterangan tertulis, Kamis (26/9), mengatakan, ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan penghasilan hakim merupakan langkah mundur dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan. "Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari," ucapnya.

 

Evaluasi Gaji Hakim

Koordinator Solidaritas Hakim Indonesia Aji Prakoso berharap agar gaji hakim, berikut dengan tunjangan-nya, dapat dievaluasi secara berkala, baik 2 tahun maupun 5 tahun sekali, demi menjamin kesejahteraan hakim.

"Harapan kami, ini (penggajian) diatur secara berkala, jadi tidak perlu lagi hakim hadir untuk menceritakan tentang keluh kesahnya," ujar Aji ketika ditemui di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin.

Aji mengatakan bahwa selama 12 tahun, para hakim tidak memperoleh kenaikan gaji dan tunjangan. Di sisi lain, inflasi terus bertambah. Berbagai upaya telah ditempuh oleh Aji bersama rekan-rekannya dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hakim.

Langkah-langkah tersebut meliputi peninjauan kembali (judicial review) terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 yang mengatur hak keuangan dan fasilitas hakim pada 2018.

"Menurut putusan (judicial review), penggajian hakim itu ilegal hari ini karena masih menggunakan metode pegawai negeri sipil, sedangkan kedudukan hakim di Undang-Undang Aparatur Sipil Negara sebagai pejabat negara," kata Aji.

Dengan demikian, menurut dia, sudah lima tahun para hakim menerima gaji dengan metode yang tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2018, yang menyatakan bahwa gaji pokok hakim tidak boleh disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Aji mengatakan bahwa Solidaritas Hakim Indonesia akan melakukan aksi lanjutan dan lebih besar dari yang saat ini berlangsung apabila pemerintah tidak memenuhi tuntutan para hakim. Ia memberi waktu hingga 11 Oktober 2024 bagi kementerian dan lembaga terkait, seperti Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, Bappenas, hingga Kementerian Hukum dan HAM, untuk menggelar pertemuan dan berdiskusi soal tuntutan mereka.

"Seandainya tidak sesuai dengan tuntutan rekan-rekan hakim, kami akan perpanjang gerakan, bisa juga melakukan langkah-langkah hukum terhadap negara, misalnya, mengajukan judicial review terhadap PP 94," ucap Aji.

 

Respons Menhunkam

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas menemui perwakilan Solidaritas Hakim Indonesia dan berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan untuk menindaklanjuti tuntutan para hakim, seperti kenaikan gaji pokok, dengan Kementerian Keuangan.

"Kami komunikasikan dengan Kementerian Keuangan terkait hal tersebut," ujar Supratman.

Supratman juga menjelaskan bahwa pada waktu yang bersamaan dengan pertemuan antara dirinya dengan perwakilan Solidaritas Hakim Indonesia di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin, juga terjadi pertemuan antara Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata dengan pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Gedung Mahkamah Agung RI, Jakarta, Senin.

"Di jam yang sama, Dirjen Anggaran Kemenkeu hadir pada pertemuan dengan Pengurus IKAHI di gedung MA RI," ucap dia.

Atas respons positif Menteri Hukum dan HAM, Koordinator Solidaritas Hakim Indonesia Aji Prakoso mengatakan akan menunggu hasil pembahasan yang terjadi antara Kementerian Hukum dan HAM dengan pemangku kepentingan terkait, seperti Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, Komisi Yudisial, dan Bappenas.

"Seandainya nanti sudah selesai pembahasan mengenai nominal perubahan (gaji hakim) dari PP 94 Tahun 2012, Pak Menteri akan melakukan harmonisasi secepatnya," ujar Aji ketika ditemui di Kementerian Hukum dan HAM.

Aji meminta agar pemerintah segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 yang mengatur hak keuangan dan fasilitas hakim. Ia menjelaskan bahwa sejak putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2018, yang menyatakan bahwa gaji pokok hakim tidak boleh disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), pemerintah belum mengambil langkah konkret.

"Karena (penggajian hakim) masih menggunakan metode pegawai negeri sipil, sedangkan kedudukan hakim di Undang-Undang Aparatur Sipil Negara sebagai pejabat negara," ucap Aji.

Ia menekankan pentingnya perubahan aturan tersebut karena berkaitan langsung dengan kesejahteraan hakim. Aji mengatakan akan menanti hasil dari pertemuan tersebut hingga 11 Oktober 2024. Apabila tuntutan dari aksi Solidaritas Hakim Indonesia tidak dipenuhi, maka ia akan melakukan aksi lanjutan yang lebih besar.

"Kami lihat pertemuan dan diskursus antara Mahkamah Agung dengan lembaga terkait. Seandainya tidak sesuai dengan tuntutan rekan-rekan hakim, kami akan perpanjang gerakan ini," kata Aji.

Selain kenaikan gaji pokok, aksi Solidaritas Hakim Indonesia juga memperjuangkan pembaharuan tunjangan jabatan, tunjangan kemahalan, hingga rumah dinas, transportasi, jaminan kesehatan, dan jaminan keamanan para hakim.

 

 

 

Kata Pengamat

Pengamat hukum pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Lies Sulistiani mengatakan, harus ada solusi yang baik untuk para hakim terkait tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan, agar tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan.

"Dalam peradilan hakim itu mempunyai tugas dan fungsi yang berat dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu penting untuk diperhatikan kesejahteraannya," kata Lies.

Lies yang juga Kepala Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpad mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para hakim menuntut kenaikan gaji dan tunjangan merupakan hal yang wajar, karena mereka juga masyarakat yang memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya.

Apalagi kata Lies, penghasilan hakim sejak tahun 2012 belum ada perubahan dan penyesuaian sehingga mereka meluapkan keinginan kesejahteraan melalui aksi yang diperbolehkan. Lies melanjutkan, dengan adanya tuntutan itu, maka pihak-pihak yang berkepentingan harus menanggapi tuntutan para hakim ini dengan bijak dan baik serta disegerakan langkah-langkah yang solutif.

"Jangan dibiarkan hingga mengganggu keberlangsungan proses persidangan di pengadilan, yang dapat saja mencoreng wajah peradilan Indonesia," tuturnya.

Ia menambahkan, kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa dunia peradilan di Indonesia masih diwarnai banyak persoalan, yang antara lain adalah soal kesejahteraan hakim.

"Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan kesejahteraannya, penting juga bagi negara dan seluruh bangsa ini untuk terus menerus menjaga kehormatan dan keluhuran martabat dan perilaku hakim," ujarnya.

Lies mengatakan, gaji, tunjangan atau kesejahteraan hakim seharusnya tidak lagi menjadi persoalan sehingga hakim dapat tenang bekerja dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik dan nyaman.

 

 

Harapan Komisi Yudisial

Koordinator Penghubung Komisi Yudisial (KY) Nusa Tenggara Barat Ridho Ardian Pratama berharap hakim agar menjaga sikap independensi jika pemerintah setuju memberikan perubahan dalam hal kesejahteraan.

"Ketika hakim sudah ada ditempatkan pada posisi kesejahteraan yang layak dan berstatus sebagai pejabat negara yang sudah tidak dualisme lagi seperti sekarang ini, hakim seharusnya bisa menjaga independensi dalam menjalankan tugas yudikatif," kata Ridho di Mataram, Senin.

Ridho menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi hakim yang terungkap bermain dalam perkara. Tidak ada lagi hakim yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tidak ada lagi kita dengar hakim ada konflik kepentingan terhadap para pihak yang berperkara. Harapannya itu," ujarnya.

Menurut dia, hakim di Indonesia sudah sepantasnya mendapatkan kesejahteraan yang layak dari negara, mengingat tugas dan tanggung jawab seorang hakim itu cukup besar dalam menangani sebuah perkara.

"Jadi, ini bukan hanya dari segi persoalan tunjangan saja, melainkan juga soal keamanan seorang hakim, itu makanya hakim butuh sejahtera," ucapnya.

Ridho menyatakan bahwa KY mendukung aksi solidaritas hakim yang berlangsung secara serentak skala nasional pada tanggal 7—11 Oktober 2024.

"Kenapa KY kemudian mengambil sikap dengan mendukung dan setuju atas aksi hakim ini? Agar ada koreksi PP 94 Tahun 2012 itu. Selain itu, regulasi sudah berumur, sudah 12 tahun, sepertinya memang hakim harus ditempatkan pada posisi yang semestinya, KY mendukung aksi ini agar hakim bisa mandiri," kata dia.

Perihal aksi solidaritas hakim yang menuntut kesejahteraan dalam bentuk penundaan sidang, Ridho tidak mempersoalkan hal tersebut.

"Dalam siaran resmi, mereka (hakim) sudah menyatakan bahwa penundaan sidang ini bukan berarti mogok kerja," ujarnya.

Dalam siaran resmi tersebut, hakim di seluruh Indonesia yang ikut aksi solidaritas di Jakarta harus mengambil cuti tahunan.

"Itu bagi yang bisa, disarankan ke Jakarta. Bagi yang sudah ambil hak cuti? Hakim itu bisa tetap masuk kantor (pengadilan), tetapi tidak menjalankan aktivitas menyidangkan perkara," ucapnya.

Bahkan, untuk pelayanan lainnya, Ridho memastikan pengadilan di wilayah NTB tetap terpantau membuka ruang bagi masyarakat.

"Apalagi sekarang ada metode-metode pelayanan secara daring seperti E-Court, sidang secara daring, itu masih bisa. Kami juga sudah pantau tadi di pengadilan tipikor, sidang tetap jalan. Jadi, aksi ini tidak lantas membuat pengadilan mengunci pintu pelayanan," kata Ridho.

 

Membongkar Isi Dompet Hakim

 Hak keuangan dan fasilitas hakim diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2012 di bawah Mahkamah Agung (MA). Hak-hal tersebut antara lain terdiri dari gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, dan jaminan keamanan.

Bukan hanya itu, hakim juga mendapat biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, dan tunjangan lainnya.

Sama seperti pegawai lain pada umumnya, gaji pokok hakim dibayar setiap bulan, dengan besaran sesuai dengan jenjang karier masing-masing hakim.

Hal itu tertuang dalam PP No 94 Tahun 2012 ayat (2) pasal 3, yang berbunyi:

“Ketentuan dan besaran gaji pokok hakim sama dengan ketentuan dan besaran gaji pokok pegawai negeri sipil.”

Dalam lampiran PP tersebut tertulis, hakim Golongan III A dengan masa jabatan 0 tahun mendapatkan gaji paling rendah, yaitu per bulan Rp2.064.100. Sedangkan hakim Golongan III D menerima gaji Rp2.337.300. Gaji pokok mereka bertambah sekitar Rp 60.000 setiap tahunnya.

Dengan demikian, jika hakim Golongan III A mengabdi selama 18 tahun, gajinya akan meningkat menjadi Rp 2.909.300, sedangkan Golongan III D menjadi Rp 3.179.100. Hakim Golongan IV A yang paling rendah pada golongannya, mendapatkan gaji Rp 2.436.100 per bulan, dan Golongan IV E sebesar Rp 2.875.200 pada masa 0 tahun pengabdian.

Setelah 18 tahun, gaji Golongan IV A hanya bertambah menjadi Rp 3.274.500, sementara Golongan IV E menjadi Rp 3.746.900. Untuk mencapai angka Rp 4 juta, hakim Golongan III harus mengabdi selama 30 tahun, sedangkan Golongan IV memerlukan waktu 22-24 tahun.

Itu baru gaji saja, karena hakim juga mendapat tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan jabatan masing-masing hakim. Lampiran II PP Nomor 94 Tahun 2012 mengatur tentang tunjangan hakim di peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer.

Hakim pada tingkat banding mendapat tunjangan paling besar, baik di Pengadilan tinggi, Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti), maupun Pengadilan Militer Tinggi Utama (Dilmiltama). Hakim yang menjadi ketua atau kepala pengadilan tingkat banding mendapatkan tunjangan sebesar Rp 40.200.000.

Sedangkan tunjangan untuk wakilnya adalah Rp 36.500.000, hakim utama/Mayjen/Laksda/Marsda TNI mendapatkan Rp 33.300.000, dan hakim utama muda/Brigjen/Laksma/Marsma TNI Rp 31.100.000.

Tunjangan jabatan hakim pada pengadilan tingkat pertama lebih rendah, dengan ketua atau kepala pengadilan Kelas IA Khusus menerima tunjangan Rp 27.000.000, Pengadilan Kelas IA Rp 23.400.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 20.200.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 17.500.000.

Wakil Ketua/Wakil Kepala Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 24.500.000, Pengadilan Kelas IA Rp 21.300.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil tipe B 18.400.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 15.900.000.

Lalu, hakim Utama Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 24.000.000, Pengadilan Kelas IA Rp 20.300.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 17.200.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 14.600.000.

Hakim Utama Muda Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 22.400.000, Pengadilan Kelas IA Rp 19.000.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 16.100.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 13.600.000.

Hakim Madya Utama/Kolonel pada Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 21.000.000, Pengadilan Kelas IA Rp 17.800.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 15.100.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 12.800.000.

Hakim Madya Muda/Letnan Kolonel Rp pada Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 19.600.000, Pengadilan Kelas IA Rp 16.600.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 14.100.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 11.900.000.

Hakim Madya Pratama/Mayor Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 18.300.000, Pengadilan Kelas IA Rp 15.500.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 13.100.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 11.100.000.

Hakim Pratama Utama Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 17.100.000, Pengadilan Kelas IA Rp 14.500.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 12.300.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 10.400.000.

Hakim Pratama Madya/Kapten Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 16.000.000, Pengadilan Kelas IA Rp 13.500.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 11.500.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 9.700.000.

Hakim Pratama Muda Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 14.900.000, Pengadilan Kelas IA Rp 12.700.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 10.700.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 9.100.000.

Kemudian, Hakim Pratama Pengadilan Kelas IA Khusus mendapat tunjangan Rp 14.000.000, Pengadilan Kelas IA Rp 11.800.000, Pengadilan Kelas IB/Dilmil Tipe B Rp 10.030.000, dan Pengadilan Kelas II Rp 8.500.000. 

Selain tunjangan tersebut, hakim juga berhak atas tunjangan keluarga, tunjangan beras, dan tunjangan kemahalan. Tunjangan untuk istri/suami adalah 10 persen dari gaji pokok, sedangkan tunjangan anak sebesar 2 persen dari gaji pokok untuk maksimal dua orang anak.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya