Ini 3 Alasan Indonesia Tidak Menjadi Negara Monarki

Para pendiri bangsa melihat bahwa keragaman etnis, budaya, dan sejarah politik yang begitu kompleks di Indonesia membutuhkan sistem pemerintahan yang lebih inklusif dan modern

oleh Switzy Sabandar diperbarui 13 Jan 2025, 04:00 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2025, 04:00 WIB
Ilustrasi HUT RI, Kemerdekaan Indonesia
Ilustrasi HUT RI, Kemerdekaan Indonesia. (Image by Freepik)

Liputan6.com, Yogyakarta - Indonesia hadir sebagai negara republik di tengah warisan sejarah panjang kerajaan-kerajaan Nusantara. Meski wilayahnya pernah menjadi tempat tumbuh kembangnya ratusan monarki besar dan kecil, dari Aceh hingga Papua, Indonesia memilih untuk tidak melanjutkan sistem pemerintahan berbasis kerajaan setelah merdeka pada tahun 1945.

Para pendiri bangsa melihat bahwa keragaman etnis, budaya, dan sejarah politik yang begitu kompleks di Indonesia membutuhkan sistem pemerintahan yang lebih inklusif dan modern. Pilihan untuk menganut sistem republik yang demokratis dipandang sebagai solusi terbaik untuk menyatukan berbagai kepentingan dan identitas politik yang berbeda, dibandingkan menempatkan satu entitas kerajaan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas yang lainnya.

Mengutip dari berbagai sumber, berikut penjelasannya:

1. Kolonisasi

Kolonialisme Belanda menghadirkan perubahan mendalam pada struktur politik dan sosial di Indonesia. Sebelum kedatangan Belanda, penguasa pribumi memiliki otoritas penuh dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum adat dan tradisi lokal.

Akan tetapi, dominasi kolonial secara sistematis menggerus kekuasaan ini dengan menerapkan sistem pemerintahan kolonial yang terpusat. Perubahan yang terjadi dalam struktur birokrasi, di mana para bupati yang sebelumnya menjadi penguasa otonom diubah statusnya menjadi pegawai negeri dengan gaji dari pemerintah kolonial.

Belanda juga mengambil alih kontrol atas suksesi kekuasaan dengan mengatur pergantian tahta kerajaan dan membatasi peran elite kerajaan dalam politik. Pulau Jawa dijadikan pusat pemerintahan kolonial, dengan pembagian wilayah administratif menggunakan sistem prefektur yang mengadopsi model Eropa.

Dampak kolonialisme tidak hanya terbatas pada aspek politik, tetapi juga merambah ke ranah sosial dan budaya. Sistem hukum adat yang telah mengakar dalam masyarakat digantikan dengan sistem hukum Barat modern.

Perubahan ini disertai dengan munculnya praktik rasialisme dan diskriminasi terhadap kaum pribumi, yang menempatkan mereka pada posisi sosial yang lebih rendah. Tatanan sosial masyarakat tradisional Indonesia mengalami guncangan hebat akibat kebijakan kolonial.

2. Nasionalisme Modern

Para pemimpin nasionalis Indonesia memilih jalan berbeda dalam membentuk negara baru dengan mengusung konsep negara modern yang demokratis. Pilihan ini didasari pemahaman mendalam tentang kompleksitas wilayah Nusantara yang terdiri dari ribuan pulau dengan beragam kerajaan dan kesultanan.

Mereka menyadari bahwa sistem monarki atau kerajaan tidak lagi relevan untuk menyatukan keberagaman Indonesia. Sistem tradisional tersebut berpotensi menciptakan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya, yang justru dapat memicu perpecahan.

Sebagai gantinya, mereka mengusung tiga prinsip dasar dalam membangun negara yang demokrasi, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat. Prinsip demokrasi membuka ruang partisipasi bagi seluruh elemen masyarakat dalam penyelenggaraan negara.

Asas kesetaraan menghapus hierarki sosial warisan sistem feodal yang telah menciptakan kesenjangan dalam masyarakat. Sementara kedaulatan rakyat menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, bukan pada individu atau kelompok tertentu.

Keragaman

3. Keragaman etnis dan budaya.

Kompleksitas Indonesia sebagai negara kepulauan dengan beragam suku bangsa menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan sistem pemerintahan pasca kemerdekaan. Keberadaan ratusan kelompok etnis dengan identitas budaya dan kepentingan politik masing-masing membuat sistem monarki tunggal sulit untuk diimplementasikan.

Setiap wilayah di Nusantara memiliki sejarah politik yang berbeda, dengan kerajaan dan kesultanan yang telah mengakar selama berabad-abad. Masing-masing entitas politik ini memiliki klaim legitimasi historis yang setara, sehingga akan menimbulkan resistensi jika salah satu kerajaan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal atas yang lain.

Dinamika ini mendorong para pendiri bangsa untuk mencari alternatif sistem pemerintahan yang dapat mengakomodasi keragaman tersebut. Pilihan jatuh pada sistem republik yang berlandaskan konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945.

 

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya