Liputan6.com, Jakarta - Benarkah AI memiliki intelegensi? Bisakah sistem Kecerdasan Artifisial (AI) meniru kesadaran manusia dan berempati seperti manusia? Hal-hal ini telah ditanyakan sejak awal kemunculan teknologi ini hingga dikembangkannya anthropomorphisme AI saat AI dianggap berkarakter seperti laiknya manusia.*
Sejak jurnal filsafat dan psikologi Mind, Vol. 59, No. 236 memuat makalah berjudul "Computing Machinery and Intelligence" yang ditulis ilmuwan Alan Mathison Turin pada Oktober 1950 dan pernyataan "dapatkah mesin berpikir?" mengemuka, kita disodorkan perdebatan yang terus-menerus tentang teknologi Kecerdasan Artifisial. Apalagi di dalam makalah itu, Alan Turin meramalkan bahwa pada tahun 2000 akan mungkin untuk menulis sebuah program yang, setelah lima menit bertanya, akan memiliki sedikitnya 30% peluang untuk mengelabui lawan bicara rata-rata agar percaya bahwa itu adalah manusia.
Advertisement
Maka pertanyaan-pertanyaan apakah Kecerdasan Artifisial -- kini coba dipopulerkan dengan istilah Akal Imitasi (AI) -- memiliki intelegensi, empati, dan kesadaran layaknya manusia kian kerap dianalisis, didiskusikan, diperdebatkan, dan dibicarakan dalam pelbagai fora.
Advertisement
Baca Juga
Rupanya jarak 75 tahun sejak terbitnya makalah tersebut, tak kunjung membuat manusia bersepakat pada adanya intelegensi pada mesin. Tes Turing yang pada dasarnya dikembangkan dari percobaan "imitation game" yang mengandaikan mesin akan mampu mengalahkan manusia pada sebuah permainan dianggap tidak cukup. Begitupun saat grandmaster catur dunia Gary Kasparov menyerah kalah dari superkomputer Deep Blue buatan IBM pada 11 Mei 1997 di pertandingan ke-6 setelah 19 langkah. Rangkaian enam pertandingan ini dimenangkan oleh Deep Blue dengan tiga pertandingan remis dan dua pertandingan dimenangkan Deep Blue serta satu pertandingan dimenangkan Garry Kasparov. Ini juga dinilai tidak cukup.
Diskusi-diskusi tentang AI kerap mengutip apa yang diungkap Noam Chomsky saat ia menulis opini kalau ChatGPT sebagai plagiator berteknologi tinggi. Atau mereka mengajukan argumentasi kalau AI tidak benar-benar berpikir karena jawaban yang diberikan oleh semua Generative AI yang populer seperti ChatGPT dari OpenAI, Gemini dari Google atau Copilot dari Microsoft 365 menggunakan algoritma yang disebut Large Language Model tak lebih dari pengulangan dari apa yang pernah ditulis oleh manusia sebelumnya.
Melihat AI dari Perspektif Berbeda
Diskusi-diskusi tersebut bukanlah sesuatu yang keliru. Skeptisme dan pesimisme tentang AI memang sudah terjadi berkali-kali sejak teknologi ini berkembang di awal 1960 dan pernah mengalami masa stagnasi cukup lama di tahun 2000 hingga kemunculan era Gen AI pada 2020. Meski saya bukan pendakwah AI (AI Evangelist) dan peran saya lebih banyak pada risiko-risiko penggunaan teknologi AI khususnya dalam demokrasi, saya ingin mengajukan sudut pandang berbeda dengan memberi perspektif berbeda.
Perspektif pertama ada dalam buku The Age of AI: And Our Human Future yang ditulis oleh Henry A. Kissinger, Eric Schmidt, dan Daniel Huttenlocher yang saya baca tahun lalu. Selain cerita tentang Deep Blue, dalam buku diceritakan tentang keberhasilan penemuan vaksin Covid-19 berkat bantuan AI. Buku ini memang membahas dampak AI terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk politik, ekonomi, dan budaya, serta potensi masa depan yang dapat terbentuk oleh kemajuan teknologi ini. Dengan bantuan AI, proses pembuatan vaksin mRNA yang biasanya makan waktu 50-75 tahun bisa dikerjakan dalam hitungan bulan.
Dalam wawancara dengan Dave Johnson dari perusahaan farmasi Moderna yang membuat vaksin Covid-19, ia menyebut hal yang penting dalam memahami peran AI dalam meningkatkan produktivitas peneliti vaksin.
Manusia sangat ahli dalam kreativitas, fleksibilitas, dan wawasan, sedangkan mesin sangat ahli dalam presisi dan memberikan hasil yang sama persis setiap saat serta melakukannya dalam skala dan kecepatan. Proyek yang kami temukan paling sukses adalah proyek yang menggabungkan keduanya — biarkan mesin mengerjakan bagian pekerjaan yang dikuasainya [dan] biarkan manusia mengerjakan sisanya.
Hal ini yang saya pikir lebih tepat dalam melihat AI.
Perspektif kedua yang ingin saya ajukan adalah melihat AI dalam perspektif sebagai General Purpose Technology. Yang dimaksud dengan General Purpose Technology adalah teknologi yang memungkinkan inovasi lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan berbagai aplikasi. Teknologi ini sering kali menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, yang mengubah cara orang hidup dan bekerja. Contohnya termasuk mesin uap, listrik, dan teknologi informasi, dalam hal ini Internet dan AI.
Maka perbandingan capaian AI dibandingkan dengan mesin uap misalnya dalam hal efisiensi sangat jauh berbeda. Mesin uap hanya meningkatkan produktivitas manusia sebanyak 18-22 persen, sedangkan Ai mampu meningkatkan produktivitas manusia sebanyak 55-75 persen. Dengan kata lain, sebagai General Purposes Technology, AI meningkatkan produktivitas manusia, baik dari sisi sangkil dan mangkus. Mangkus berarti 'berhasil guna', sedangkan sangkil 'berdaya guna'. Kedua kata tersebut untuk menggantikan efektif dan efisien. Dalam takaran tertentu, AI terbukti lebih produktif, presisi, dan mampu mengerjakan dalam skala besar, lebih intelegensi bila ingin menghindari kata "cerdas" dibanding general purposes technology sebelumnya.
Advertisement
Meniru Kesadaran dan Empati Manusia
Kekeliruan perspektif yang membandingkan AI dengan manusia, dengan proposisi AI lebih unggul dari manusia, mungkin muncul karena belakangan AI mendemonstrasikan kapasitas yang sebelumnya hanya dimiliki oleh manusia.
Gen AI adalah kecerdasan artifisial yang mampu menghasilkan teks, gambar, atau media lain, menggunakan model yang berasal dari pola dan struktur data pelatihan inputnya, lalu menghasilkan data baru yang memiliki karakteristik serupa. Cara Gen AI menghasilkan outputnya terkadang disamakan dengan prediksi, mirip dengan cara Google memprediksi apa yang akan dimasukkan saat frasa pencarian masih diketik.
Gen AI bahkan sudah mampu membuat karya seni, musik, sastra, dan lain sebagainya dengan level kompleksitas yang selalu meningkat hingga memperluas kemungkinan-kemungkinan kreatif yang baru. Ketika mesin mulai menembus batas realitas subjektif yang sejak dahulu memberi makna bagi kita, muncullah risiko terkait kemungkinan ketergantungan manusia yang berlebihan kepada perangkat pemenuhan kepuasan artifisial.
Semisal dalam bidang kreativitas membuat lagu. Dengan suno.ai dalam waktu 10 detik tercipta dua lagu sejak dikirimkan prompt yang diinginkan. Atau dengan chatbot AI, jawaban dari asisten virtual lebih cepat daripada saat siswa mengajukan pertanyaan kepada guru atau ahli, atau bahkan pada orangtuanya. Anak-anak yang menikmati AI Companion dari personalisasi AI merasa sangat nyaman dengan nasihat-nasihat yang cocok dengan preferensi pribadi mereka.
Bersamaan dengan lahirnya sistem-sistem kecerdasan artifisial yang mampu menggantikan peran yang sebelumnya dijalankan oleh manusia, banyak dari kita yang mengalami problem kehilangan lapangan pekerjaan. Kita telah menyaksikan disrupsi besar-besaran dalam hampir semua bidang industri, dari industri kreatif hingga teknologi. Otomatis pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul, "Masihkah perlu seorang pencipta lagu untuk membuat sebuah lagu?" Bagaimana dengan pengalaman penikmat karya lukis atau musik yang dibuat tanpa campur tangan manusia?
Dalam diskusi yang terjadi di Fakultas Psikologi Binus University tahun lalu, saya diminta menjawab tentang ada tidaknya kesadaran AI dan bila ada, apa perbedaannya dengan kesadaran manusia. Rupanya pertanyaan tentang apakah AI dapat menjadi 'sadar' merupakan perdebatan ilmiah yang menegangkan dan kontroversial.
Sebagian orang menyebut adanya kesadaran pada AI itu mustahil, dengan alasan bahwa ada sesuatu yang mendasar tentang biologi yang diperlukan untuk pengalaman sadar. Namun, menurut sebagian orang lain, hal itu menutupi kesadaran dengan tabir mistis yang memungkiri sifatnya yang jauh lebih sederhana.
Masalah dalam menilai apakah sesuatu itu memiliki kesadaran sangatlah rumit karena ilmu pengetahuannya masih belum jelas – teori tentang kesadaran jumlahnya hampir sama banyaknya dengan jumlah penemunya sendiri. Tidak semua orang setuju bahwa kesadaran AI itu mungkin terjadi.
Ahli saraf ternama asal Inggris, Nicholas Humphrey, membahas hal ini dalam buku terbarunya, Sentience: The Invention of Consiousness. Di sana, ia menjelaskan perbedaan antara 'kesadaran komputasional' – kemampuan mesin atau otak untuk melakukan komputasi – dan 'kesadaran fenomenal' – pengalaman tentang bagaimana rasanya menghadapi dunia, merasakan sensasi, mengamati warna, dan sebagainya. Ia percaya bahwa kesadaran fenomenal merupakan perkembangan evolusi terbaru, dan mungkin hanya ada pada makhluk dengan dunia sosial yang rumit, seperti banyak mamalia dan beberapa burung.
Makhluk lain dan AI tidak memiliki kebutuhan evolusioner akan kesadaran fenomenal karena mereka tidak memerlukan keterampilan sosial untuk bertahan hidup – mereka tidak perlu memahami kualitas dunia internal mereka sendiri atau membandingkannya dengan dunia internal orang lain. Bila AI memiliki kesadaran, itu artinya ia hidup. Karena hidup, maka AI bisa dimintai pertanggungjawaban.
Tentu dalam diskusi tersebut, saya menjelaskan hingga saat ini belum ada bukti bahwa AI memiliki kesadaran seperti halnya manusia, meski AI mampu merasakan (sensing), belajar (learning) dan memiliki kewaspadaan (awareness). Kamus Merriam-Webster mendefinisikan "kewaspadaan" sebagai memiliki pengetahuan dan pemahaman bahwa sesuatu sedang terjadi atau ada. Dan kamus itu mendefinisikan "kesadaran" sebagai menyadari hal-hal di sekitar Anda atau sesuatu dalam diri sendiri. Dalam bidang Psikologi menyebutkan bahwa kesadaran mencakup tiga hal, yaitu: persepsi, pikiran, dan perasaan.
Lalu bagaimana dengan empati? Dalam perkembangan teknologi AI, ada keinginan untuk membuat AI lebih seperti karakter manusia. Semisal asisten virtual Siri, Alexa, bahkan ChatGPT dibuat lebih berkarakter seperti manusia, lengkap dengan suara, ungkapan-ungkapan yang seolah-olah manusia. Keinginan ini yang diakomodir dalam anthropomorphism AI, yaitu keadaan yang dibuat ada kesan manusia pada sesuatu yang non-manusia, yaitu AI. Anthropomorphisme berasal dari bahasa Yunani anthropos (“manusia”) dan morphe (“bentuk”), istilah ini pertama kali digunakan untuk merujuk pada atribusi ciri-ciri fisik atau mental manusia kepada dewa.
Kita mesti mempertimbangkan algoritma pendeteksi emosi yang saat ini telah mampu menganalisis ekspresi wajah, nada suara, dan sintaksis dalam suatu percakapan untuk menyimpulkan kondisi batin manusia. Dalam diskusi terpumpun di antara para ahli yang diadakan Project AEGIS (Automated Empathy – Globalising International Standards) di Jakarta minggu lalu, kami disodorkan fakta bahwa empati sedang dilatih ke mesin-mesin AI agar mampu bereaksi lebih "manusiawi" dan apa saja yang kini menjadi risiko dari keberadaan AI yang berempati, terutama bila manusia menjadi sangat tergantung pada keberadaannya.
Dalam salah satu contoh, dikatakan terjadi peningkatan bunuh diri di kalangan anak-anak di Inggris karena keberadaan character.ai yaitu platform yang menyediakan tiruan (klon) dari tokoh-tokoh terkenal.
Tentu kejadian itu memicu sebuah ketegangan yang mendorong dimunculkannya sebuah pengaman agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, semisal dengan membatasi usia anak berinteraksi dengan AI setidaknya 18 tahun ke atas. Hal-hal ini yang didiskusikan di dalam pertemuan terbatas tersebut: etiskah bila AI memiliki karakter seperti halnya manusia?
Jika prioritas etik memandu pengembangan AI, peningkatan atas akses dan kemungkinan penemuan-penemuan baru akan membawa lebih banyak manfaat daripada risiko. Jika batasan-batasan yang tegas ditentukan dengan jelas, akan terwujud perlindungan atas wilayah-wilayah di mana manusia bisa berkreasi, melakukan eksplorasi, dan saling menjalin relasi tanpa tergantung pada teknologi AI.
Ko-Intelegensi Sebagai Jawaban?
Ada satu konsep yang disodorkan oleh penulis Ethan Mollick dalam buku berjudul Co-Intelligent: Living and Working with AI, yaitu ko-intelegensi. Pada dasarnya, ia mengusulkan agar manusia bisa hidup bersama dengan Gen AI dalam bidang usaha, belajar, bisnis dan lainnya.
Menurut saya, konsep ini masih sulit untuk dipahami. Terutama saat ini, dimana Gen AI mempunyai kelemahan utama, yaitu cenderung "halu", yang dikenal sebagai halusinasi, yaitu memberi jawaban yang delusif. Bahkan ada yang mengatakan Gen AI berbasis LLM itu berbohong. Hal ini terutama makin menyulitkan bila berkaitan dengan produksi dan penyebaran disinformasi.
Fakta bahwa AI berbasis LLM tidak dapat membedakan antara fakta dan rekayasa, karena AI hanya diprogram untuk mencari pola dan memberikan respons yang inovatif dan meyakinkan. Ini berarti AI cenderung menciptakan sesuatu dan menyajikannya sebagai kebenaran, meskipun itu sepenuhnya fiksi.
Oleh karenanya, sejauh ko-intelegensi dimaknai sama seperti Dave Johnson, yakni biarkan mesin mengerjakan bagian pekerjaan yang dikuasainya [dan] biarkan manusia mengerjakan sisanya, saya tidak anti pada gagasan ko-intelegensi. Karena untuk hidup bersama (ko-habitasi) dengan AI, pada saat ini, rasanya kita tidak bisa melepaskan AI sepenuhnya dari kontrol manusia, seperti yang digadang-gadang dengan akan datangnya Artificial General Intelligence (AGI). Malahan kita perlu terus mendorong adanya pemeriksaan seksama dari multipihak tentang risiko apa yang dapat muncul dari keberadaan teknologi dan produk yang dihasilkan oleh teknologi AI ini dan mengatur dengan regulasi yang berporos pada eksistensi manusia.
Penulis: Damar Juniarto, dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi)
Advertisement