Liputan6.com, Malang - Mochammad R Mardian duduk di antara deretan kursi dan berbagai perabotan dari bahan rotan. Jarinya tampak menggulirkan layar telepon genggamnya. Siang itu tak banyak aktivitas di toko kerajinan rotan di Balearjosari Malang tersebut.
Pria itu merupakan pemilik Bavaria Rotan, satu dari delapan toko yang ada di sentra industri kerajinan rotan Balearjosari, Kota Malang. Suasana hampir serupa juga jelas terlihat di toko–toko lainnya. Hanya jalan raya yang sibuk dengan lalu lalang kendaraan. Perabotan rumah dari anyaman rotan seperti kursi, meja, rak buku, termasuk dekorasi rumah berupa lampu hias, bingkai cermin dan lainnya dijual di toko ini. Produk anyaman dari bahan sintetis alias plastik pun turut diperdagangkan.
Mochammad R Mardian mengatakan, tokonya menjual barang anyaman sintetis karena banyak peminatnya. Bahkan, dia menyebut barang tersebut termasuk salah satu pesaing utama berbagai produk kerajian rotan hasil kerja para perajinnya. “Daya beli masyarakat terhadap kerajinan rotan mulai berkurang. Sekarang ditambah persaingan dengan anyaman plastik,” katanya.
Advertisement
Menurut dia, pembeli memilih produk dari bahan sintetis karena harganya lebih ekonomis dan daya tahannya lebih lama. Selain itu perawatannya tidak terlalu sulit, sangat mudah dibersihkan bila dibanding dari bahan rotan. “Bahan plastik kan usianya panjang, bahkan tidak bisa hancur,” tutur pria yang juga ketua Paguyuban Industri Rotan Balearjosari ini.
Padahal kerajinan anyaman rotan memiliki keunggulan seperti keunikannya. Serta mampu bertahan lama bila dirawat dengan baik. Sebaliknya, kursi rotan bila dibiarkan begitu saja saat hujan atau kena air maka umurnya hanya sekitar 4-5 tahun saja. “Pasar dalam negeri ini berbeda dengan Eropa yang lebih menggemari produk berbahan baku alami seperti dari rotan,” ujar Mardian.
Persaingan dengan produk plastik itu semakin semakin menambah kelesuan sentra indutri kerajinan rotan ini. Jumlah perajin rotan di dalam kampung Balearjosari semakin berkurang karena sulitnya regenerasi. “Sulit cari perajin baru. Bahan baku juga gampang-gampang susah didapat,” ucapnya.
Kebutuhan Perajin Rotan Balearjosari
Sentra kerajinan rotan di Balearjosari, Malang, ada sejak 1990an dengan jumlah perajin lebih dari 60 orang. Sempat jaya ekspor untuk memenuhi permintaan pasar dari China sampai eropa. Kini perlahan, jumlah perajin dan pelaku usaha rotan semakin berkurang. Pada awal 2000an, menyusut menjadi sekitar 20 toko dan kini hanya tersisa delapan toko saja. Intervensi Pemerintah Kota Malang untuk menggairahkan kembali industri rotan di wilayah ini dinilai tidak optimal. “Pemkot pernah gelar pelatihan keterampilan, tapi tak begitu kami butuhkan. Latihan promosi juga tidak sampai tuntas,” ujar Mardian.
Pemkot Malang pernah mengajak perajin studi banding ke sentra kerajinan rotan dan pameran produk di luar daerah lebih dari satu dekade lalu. Kegiatan seperti itu lebih dibutuhkan karena dapat menambah pengetahuan serta mempertemukan langsung dengan pembeli. “Kami butuh bantuan yang sifatnya dapat membuka membuka pasar seluas-luasnya,” tutur Mardian.
Kebijakan Pemkot Malang untuk meramaikan industri kerajinan rotan tapi kurang tepat sasaran itu juga disampaikan Randy Nandra, pemilik toko Nandra Rotan. Menurut dia, pemkot pernah menggelar pameran di dalam kampung Balearjosari. “Pameran di dalam kota sendiri itu kan kurang mengena karena pasarnya lesu, lebih baik pameran atau dipromosikan ke luar daerah” tutur dia.
Menurut Randy, bantuan permodalan juga tidak akan berguna bila pasar tetap sepi. Apalagi pasar dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung stagnan. Menggairahkan kembali pasar rotan jadi salah satu tantangan utama dan kebutuhan pedagang.
Advertisement