Liputan6.com, Yogyakarta - Pemerintah yang sudah meluncurkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax) dengan biaya Rp1,3 triliun rupiah ternyata masih banyak kendala dan keluhan hingga saat ini. Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi, mengatakan belum optimalnya Coretax ini karena proses implementasi kebijakan perpajakan ini dilakukan terlalu terburu-buru dan kurang matang.
“Ada kesan bahwa proses pra-implementasi dilakukan dengan terburu-buru dan kurang matang, mengingat waktu persiapannya yang sangat singkat antara pertengahan hingga akhir Desember lalu,” ujarnya, Sabtu 15 Februari 2025.
Menurut Rijadh ada indikasi belum optimalnya perencanaan pelaksanaan dan mitigasi risiko, termasuk tahapan implementasi terutama pada proses deployment, data migration, dan load balancing yang menyebabkan sejumlah masalah teknis terjadi dan dikeluhkan oleh berbagai pihak, seperti gangguan pada sistem, kesulitan dalam migrasi data, serta minimnya pelatihan bagi pengguna akhir.
Advertisement
Baca Juga
Setidaknya ada 4 faktor yang menjadi penyebab utama permasalahan pada Coretax. Pertama, sistem yang belum siap menangani akes massal karena adanya lonjakan traffic secara real-time, sehingga menyebabkan terjadinya bottleneck pada jaringan dan sistem yang membuat waktu respons server melambat dan sulit diakses.
"Kedua, adanya bug pada beberapa fungsi penting sistem seperti proses pelaporan, validasi data, dan otomatisasi perpajakan yang masih mengalami runtime errors dan data validation failures."
Riyadh menilai hal ini terjadi karena belum melakukan sepenuhnya proses quality assurance (QA) dan user acceptance testing (UAT). Ketiga, kapasitas sistem yang tidak mencukupi dan arsitektur sistem yang tidak efisien. Rijadh menjelaskan bahwa arsitektur yang didesain tidak siap untuk skalabilitas tinggi, sehingga sistem mudah mengalami service disruptions ketika volume data melonjak.
“Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani high-volume data processing dan kompleksitas transaksi perpajakan dalam skala besar,” jelasnya.
Terakhir, kelemahan dari pemakaian Commercial Off-The-Shelf (COTS) software. Coretax yang dibangun dengan basis COTS masih menjawab solusi generik saja, sedangkan perpajakan di Indonesia memiliki karakteristik yang unik, sehingga diperlukan customization untuk menjawab hal tersebut.
“Perlu dilakukan rollout program secara bertahap hingga siap digunakan,” katanya.
Namun Rijadh menegaskan ide adanya Coretax sebenarnya sangat baik dan strategis karena merupakan bagian penting dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk memperkuat administrasi pajak melalui digitalisasi. Reformasi perpajakan ini juga bertujuan untuk memperbaiki tax gap yang ada di Indonesia.
“Tax gap yang tinggi menunjukkan adanya potensi penerimaan pajak yang belum optimal,” jelas Rijadh.
Rijadh menilai, melalui Coretax pemerintah menargetkan penurunan tax gap, peningkatan tax ratio, serta perbaikan kualitas data perpajakan. Menurutnya, Coretax sebenarnya berpotensi untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan integritas data perpajakan di Indonesia.
Ia pun menilai bahwa biaya proyek yang mencapai 1,3 triliun ini termasuk hemat, jika dibandingkan dengan proyek serupa di berbagai negara yang bisa mencapai 7 triliun. Hanya saja, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses implementasi Coretax.
Selain itu perlu pengujian sistem yang lebih baik, pelatihan yang komprehensif untuk pengguna akhir, serta perbaikan berkelanjutan sangat diperlukan agar manfaat sistem ini dapat dirasakan sepenuhnya oleh seluruh pemangku kepentingan.
“Bila setiap tahapan pengembangan sistem informasi, mulai dari analisis kebutuhan hingga implementasi penuh, dilakukan dengan baik, Coretax bisa menjadi pondasi penting bagi reformasi perpajakan di Indonesia,” harapnya.
Rijadh mengatakan melalui pendekatan parallel running ini identifikasi kelemahan sistem baru dapat dilakukan secara bertahap, beriringan dengan tetap mempertahankan layanan administrasi perpajakkan yang berjalan dengan menggunakan sistem lama sebagai cadangan. Namun strategi tersebut sangat bergantung pada 4 poin penting, yaitu evaluasi sistem secara menyeluruh, akuntabilitas dan komunikasi perbaikan, manajemen risiko proyek, dan juga integrasi data lama ke sistem baru.
“Penerapan sistem hendaknya tidak mass rollout jika belum siap. Phase rollout dengan perbaikan terus menerus akan lebih baik,” ujarnya.
Rijadh pun berharap bahwa Coretax ini berjalan sesuai dengan tujuan strategisnya, yaitu untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan di Indonesia.
“Menurut saya jika semua pihak berkomitmen untuk perbaikan, Coretax bisa menjadi game changer bagi digitalisasi perpajakan di Indonesia,” ujarnya.