Bos BEI: IHSG Rontok Akibat Spekulasi Investor

Direktur Utama BEI, Tito Sulistio mengatakan, bursa saham Indonesia dihantam tiga isu pasar keuangan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Agu 2015, 17:15 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2015, 17:15 WIB
Isu Buyback Masih Warnai IHSG, Awasi Tujuh Saham Pilihan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih akan bergerak di kisaran 4.200-4.350 pada perdagangan saham Selasa pekan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Indonesia sempat anjlok hingga ke posisi 4.100 akibat serbuan sentimen negatif dari global, termasuk devaluasi mata uang Yuan China. Namun pemicu utamanya bukan karena fundamental ekonomi Indonesia, melainkan spekulasi dari investor.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio mengungkapkan bursa saham Indonesia dihantam tiga isu pasar keuangan yang terus berkembang dalam sebulan terakhir.

Pertama, spekulasi kenaikan suku bunga acuan The Fed. Kedua, tren penurunan harga minyak mentah dunia dan ketiga, tekanan ekonomi global khususnya negara-negara berkembang.

"Jadi ada perubahan persepsi untuk memindahkan investasi ke yang pasti-pasti saja, misalnya ke emas, dan sebagainya," ujar dia saat Konferensi Pers di BEI, Jakarta, Kamis (27/8/2015).

Dari data BEI, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot 5,5 persen pada periode 19 Agustus sampai 26 Agustus 2015. Posisi ini berada di atas bursa saham Singapura, Filiphina, bahkan China yang berada di urutan paling bawah dunia dengan penurunan tajam 22,85 persen. Namun posisi Indonesia berada di bawah bursa saham Malaysia, Thailand, Rusia, dan Brazil.  Secara year to date, IHSG telah susut 18,93 persen.

"IHSG kena dampak 5,5 persen. Tadinya posisi IHSG paling bawah, tapi sepekan terakhir ada di tengah karena memang semua pasar saham di dunia mengalami penurunan," ujar Tito.

Dilihat dari fundamental ekonomi saat ini dibandingkan 1998 dan 2008, kata dia berbeda. Indonesia masih mencetak pertumbuhan ekonomi positif meski melambat di level 4,67 persen. Sementara di tahun 1998 dan 2008 masing-masing minus 13,10 persen dan 4,12 persen.

Indikator inflasi, menurut Tito, masih terjaga di angka 7,26 persen. Sementara di periode 1998 dan 2008, masing-masing 82,40 persen dan 12,14 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 14.123 atau melemah 14,03 persen atau lebih baik dibanding periode krisis sebelumnya yang terdepresiasi 197 persen dan 34,86 persen.

"Jadi pelemahan bursa saham kita bukan karena faktor fundamental. Bisa saya katakan akibat spekulasi dan aksi short selling dari investor maupun broker. Makanya kita lakukan langkah cepat sehingga akhir-akhir ini rebound lagi," tegas Tito.  (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya