Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan menjadi sorotan karena terus mengalami tekanan. Beberapa ekonom mengatakan pelemaham rupiah ini terjadi karena adanya capital outflow ke AS seiring perbaikan ekonomi negeri Paman Sam itu.
Akibatnya, baik Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah, harus memutar otak supaya bisa menahan arus keluarnya dana-dana asing dari Indonesia. Maklum, sebagai negara berkembang, pasar keuangan Indonesia sangat tergantung dari aliran modal asing.
Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia Ronny P Sasmita mengatakan, tidak hanya reformasi kebijakan demi menguatkan rupiah terhadap dolar AS, dia meminta pemerintah juga memperhatikan faktor psikologis para pemilik dana ini.
Advertisement
Baca Juga
"Saya melihat pergerakan belakangan, persoalannya bukan hanya soal policy dan goverment response on policy, tapi sudah soal psikologi market. Padahal sentimen negatif lebih cepat mengganggu psikologi market yang mengganggu eskpektasi pelaku pasar," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (12/9/2018).
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh fokus terhadap persiapan Pilpres 2019, namun persoalan ekonomi negara juga harus tetap diperhatikan secara menyeluruh.
Sentimen pelemaham rupiah terhadap dolar AS ini belum akan berhenti. Selain faktor current account defisit, sentimen luar negeri seperti masih adanya peluang kenaikan suku bunga The Fed masih akan terjadi.
"Jadi saya berpikir dan menyarankan, sebaiknya Jokowi ikut ke BEI, baik open atau close market, kasih speech yang menenangkan pasar. Nah, presiden harus duluan memberikan tanggapan yang mengademkan pasar bahwa Indonesia sudah menyiapkan langkah-langkah antisipatif untuk tekanan-tekanan eksternal yang akan datang," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sampai Akhir Tahun
Sebelumnya, tren pelemahan rupiah diprediksi masih akan terus berlanjut hingga akhir tahun nanti. Hal tersebut dipicu lantaran adanya rencana kenaikan suku bunga acuan AS atau The Fed Rate sekitar 25 basis poin.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira menuturkan, indikasi lain yang menyebabkan rupiah akan terus melemah yakni karena kenaikan acuan The Fed yang naik berbalikan dengan yield obligasi AS tenor 10 tahun turun menjadi 2,88 persen per 6 September 2018.
Prediksi ini, kata Bima sesuai dengan teori Inverted Yield Curves, di mana yield surat utang AS jangka panjang menurun sedangkan yield jangka pendek naik.
"Artinya, ekspektasi investor dalam jangka pendek khawatir adanya market crash, dan lebih memilih membeli surat utang yang bertenor jangka panjang. Inverted Yield Curves menjadi indikator pra-krisis global sejak tahun 1970-an," ungkap Bima di Jakarta.
Bima menyebut, kondisi ini justru berbeda dari dalam negeri, di mana berbanding terbalik dengan yield obligasi AS tenor 10 tahun. YieldSBN 10 tahun terus mengalami kenaikan menjadi 8,69 persen. Yield yang naik di Negara berkembang itu mencerminkan tingkat risiko berinvestasi semakin besar, apalagi Indonesia masuk ke dalam fragile five atau 5 negara paling rentan terpapar krisis.
"Konsekuensinya pelaku pasar masih melanjutkan flight to quality, beralih ke aset yang lebih aman salah satunya greenback. Indikator USD index berada pada level 95,3 atau naik 3,5 persen sejak awal tahun 2018. Kenaikan indeks dolar jadi indikasi tren super dolar akan berlanjut hingga akhir tahun," ungkap Bima.
Advertisement