Sekilas Sejarah Wall Street Tutup Peringati Hari Martin Luther King Jr

Bursa saham Amerika Serikat atau wall street tutup untuk memperingati hari libur Martin Luther King Jr.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 20 Jan 2021, 05:18 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2021, 06:16 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Spesialis Michael Mara (kiri) dan Stephen Naughton berunding saat bekerja di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street dan pasar obligasi tutup pada Senin, 18 Januari 2021 waktu setempat untuk memperingati hari libur Martin Luther King Jr.

The Securities Industry and Financial Markets Association or Sifma merekomendasikan agar pasar obligasi ditutup termasuk perdagangan surat berharga bertenor 10 tahun dalam denominasi dolar AS di pasar Inggris dan Jepang. Sedangkan Bursa Efek New York dan Nasdaq tutup untuk hari libur federal.

Sementara itu, di pasar komoditas AS, tidak akan ada perdagangan termasuk minyak mentah Nymex, emas. Perdagangan komoditas energi dan logam akan dibuka pada pukul 6 sore waktu setempat. Namun, minyak Brent di ICE Futures Europe tetap melakukan perdagangan reguler. Demikian dilansir dari Marketwatch, Selasa (19/1/2021).

Peringatan hari libur Martin Luther King untuk menghormati pemimpin hak-hak sipil yang lahir pada 15 Januari 1929. Ia tutup usia pada 4 April 1968. Penutupan wall street untuk memperingati hari lahir Martin Luther King termasuk baru.

Ketika liburan diteken menjadi undang-undang oleh Presiden Ronald Reagen pada 1983, dan secara resmi didirikan pada 1986, Bursa Efek New York dan bursa utama lainnya tetap buka untuk mengheningkan cipta selama semenit pada siang hari.

Kemudian pada 19 Januari 1998, Bursa Efek New York dan Nasdaq menyatakan libur sehari untuk peringati hari Martin Luther King. Meski pun wall street tutup, bursa saham Eropa dan China tetap beroperasi normal.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Sambut Akhir Pekan, Saham Bank Tekan Wall Street

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Steven Kaplan (tengah) saat bekerja dengan sesama pialang di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street melemah jelang akhir pekan. Pelaku pasar menimbang rencana stimulus Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan laporan pendapatan terbaru dari beberapa bank terbesar AS.

Pada penutupan perdagangan di Wall Street Jumat, 15 Januari 2021, indeks saham Dow Jones melemah 177,26 poin atau 0,6 persen ke posisi 30.814,26. Indeks saham S&P 500 susut 0,7 persen menjadi 3.768,25. Indeks saham Nasdaq tergelincir 0,9 persen ke posisi 12.998,50.

Saham Dow Inc dan Chevron melemah lebih dari tiga persen sehingga memimpin penurunan rata-rata 30 saham. Sektor saham energi melemah empat persen, dan membukukan penurunan satu hari terburuk sejak akhir November, dan menekan indeks S&P 500.

Di Wall Street, indeks saham Dow Jones dan Nasdaq membukukan penurunan mingguan masing-masing 0,9 persen dan 1,5 persen. Hal ini menghentikan kenaikan beruntun selama sempat minggu. Indeks saham S&P 500 juga melemah 1,5 persen.

Sentimen paket stimulus COVID-19 oleh Presiden terpilih AS Joe Biden mempengaruhi pasar. Proposal Biden yang disebut rencana penyelamatan AS, termasuk meningkatkan pembayaran tunjangan pengangguran menjadi USD 400 pe rminggu, dan diperpanjang hingga September, pembayaran langsung ke banyak warga AS sebesar USD 1.400, dan memperpanjang moratorium federal mengenai penggusuran dan penyitaan hingga September.

Rencana tersebut juga meminta bantuan USD 350 miliar kepada pemerintah negara bagian dan lokal USD 70 miliar untuk program pengujian dan vaksinasi COVID-19, dan menaikkan upah minimum federal menjadi USD 15 per jam.

"Ada penderitaan nyata yang membebani ekonomi riil, orang mengandalkan gaji bukan investasi untuk membayar tagihan dan makanan serta kebutuhan anak-anak mereka,” ujar Biden, seperti dilansir dari CNBC, Sabtu (16/1/2021).

Pendiri the Sevens Report, Tom Essaye menuturkan, proposal tersebut menimbulkan reaksi pelaku pasar dengan sell by the news. Pasar sudah memperhitungkan sebagian besar dari apa yang disertakan.

"Rencana untuk stimulus historis di masa depan, kebijakan the Federal Reserve yang mudah, dan vaksin sekarang sudah dikenal, dan karena itu katalisator tidak memiliki pengaruh positif pada saham yang mereka miliki selama beberapa bulan terakhir," ujar dia.

RUU bantuan besar ketiga telah diperkirakan secara luas dalam beberapa pekan terakhir terutama setelah laporan pasar tenaga kerja pada Desember menunjukkan banyak warga kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, Demokrat memenangkan dua pemilihan Senat utama di Georgia.

"Ada cukup banyak transparansi saat kesepakatan ini membuahkan hasil. Hal ini mempermudah investor untuk memperkirakan dampak potensial proposal pada aset berisiko sebelumnya," ujar dia.

Sementara itu, masih belum jelas apakah proposal Biden akan disambut di Kongres yang terpecah belah. Meski Partai Demokrat menguasai kedua majelis perlu mempengaruhi anggota moderat partai mereka sendiri seperti Senator Virginia Barat Joe Manchin, dan beberapa anggota partai Republik untuk meningkatkan pengeluaran. Partai Demokrat awalnya mendorong paket stimulus multi-triliun sebelum menyetujui tagihan USD 900 miliar pada Desember.

Menjelang akhir pekan, investor juga mendapat pandangan baru di bank-bank besar seperti JPMorgan Chase, Citigroup, dan Well Fargo.

JPMorgan melaporkan pendapatan lebih baik dari perkiraan, tetapi saham turun lebih dari satu persen. Wells Fargo dan Citigroup juga masing-masing turun 7,8 persen dan 6,9 persen, bahkan setelah membukukan pendapatan yang mengalahkan prediksi analis.

Di sisi lain, Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel turun 0,7 persen pada Desember 2020.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya