Lonjakan Kasus COVID-19 hingga The Fed Tekan IHSG

Head of Investment Research PT Infovesta Utama, Wawan Hendrayana menuturkan, kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia menekan laju IHSG.

oleh Agustina Melani diperbarui 21 Jun 2021, 12:25 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2021, 11:01 WIB
FOTO: PPKM Diperpanjang, IHSG Melemah Pada Sesi Pertama
Karyawan melihat layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Pada hari ini, IHSG melemah pada penutupan sesi pertama menyusul perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tajam pada awal sesi perdagangan Senin, (21/6/2021). IHSG bahkan sentuh posisi terendah 5.884,91. Analis menilai, tekanan IHSG didorong kekhawatiran kasus COVID-19 dan rencana kenaikan suku bunga the Federal Reserve atau the Fed.

Mengutip data RTI, Senin, 21 Juni 2021 pukul 10.42 WIB, IHSG melemah 0,84 persen ke 5.956. Indeks saham LQ45 tergelincir 0,96 persen ke posisi 855. Sebagian besar indeks saham acuan tertekan. Pada awal sesi perdagangan, IHSG sentuh posisi tertinggi 5.962 dan terendah 5.884.

Sebanyak 390 saham melemah sehingga menekan IHSG. 117 saham menguat dan 111 saham diam di tempat. Total frekuensi perdagangan saham sebanyak 622.422 kali, volume perdagangan 9,1 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 5,5 triliun. Investor asing beli saham Rp 28,34 miliar di seluruh pasar. Posisi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 14.405.

Head of Investment Research PT Infovesta Utama, Wawan Hendrayana menuturkan, kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia menekan laju IHSG. 

Satgas COVID-19 melaporkan penambahan kasus COVID-19 di Indonesia pada Minggu, 20 Juni 2021. Jumlah konfirmasi positif virus Corona bertambah 13.737 orang, sehingga total kasus menjadi 1.989.909.

Dari data tersebut, DKI Jakarta melaporkan paling tinggi temuan konfirmasi Covid-19. Angkanya mencapai 5.582 kasus. Penambahan itu membuat total temuan Covid-19 di Ibu Kota menjadi 474.029 kasus. Demikian mengutip dari kanal News Liputan6.com.

Wawan menuturkan, kenaikan kasus COVID-19 menimbulkan kekhawatiran pemerintah akan memperketat pembatasan kegiatan masyarakat, atau kemballi menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dengan ada pembatasan lebih ketat dikhawatiran berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Aktivitas pembatasan kegiatan masyarakat akan mempengaruhi banyak sektor usaha, sehingga prospek pertumbuhan ekonomi akan turun,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (21/6/2021).

Ia menambahkan, kekhawatiran kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve lebih cepat menambah beban IHSG. Namun, ia menilai, kenaikan suku bunga bank sentral AS tidak akan terjadi pada 2021.

"Investor antisipasi sehingga lakukan profit taking. IHSG juga sudah naik sentuh posisi 6.000, ada sentimen negatif membuat profit taking,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Analis: Kesempatan untuk Beli Saham Fundamental Baik

Akhir tahun 2017, IHSG Ditutup di Level 6.355,65 poin
Pekerja tengah melintas di bawah papan pergerakan IHSG usai penutupan perdagangan pasar modal 2017 di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Perdagangan bursa saham 2017 ditutup pada level 6.355,65 poin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Wawan menilai, tekanan IHSG masih wajar. Hal ini mengingat tekanan IHSG lebih didorong dari kekhawatiran pelaku pasar terhadap adanya pelaksanaan PSBB.

"Investor akan mencermati kebijakan apa yang dilakukan pemerntah. Dari sisi kedokteran minta lockdown, tetpai pemerintah banyak pertimbangan, protokol kesehatan diperketat dan program vaksinasi di push. Namun, kegiatan masyarakat dibatasi ekonomi tentu melambat," kata dia.

Dengan kondisi saat ini, Wawan menilai menjadi kesempatan investor untuk membeli saham berfundamental baik yang sudah naik tinggi dan alami koreksi.

Wawan mengatakan, kesemapatan koreksi ini menarik bagi investor yang memiliki jangka waktu investasi jangka panjang untuk masuk saham defensif terutama yang alami koreksi. Sektor saham yang bisa dicermati seperti sektor telekomunikasi yang berkaitan menara telekomunikasi.

"Ketidakpastian, cenderung sektor saham defensif seperti BCA dan Tower Bersama Infrastructure,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya