Liputan6.com, Jakarta - Jakarta - Perusahan tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex sedang diujung tanduk. Perusahaan resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang berdasarkan Putusan dalam perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Selain itu, pengadilan juga menyatakan batal Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).
Baca Juga
Status pailit Sritex memberikan dampak signifikan bagi pasar modal Indonesia. Saham SRIL telah disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Mei 2021, menyebabkan kerugian bagi investor publik yang masih memegang 8,15 miliar lembar saham atau setara 39,89% kepemilikan.
Advertisement
PT Huddleston Indonesia sebagai pengendali utama masih memegang 59,03% saham, sementara generasi kedua Keluarga Lukminto yakni Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto masing-masing memiliki 0,53% dan 0,52% saham.
"Diketahui bersama hasilnya demikian (pailit). otomatis jika terjadi potensi delisting oleh Bursa, seyogyanya SRIL harus melakukan buyback karena masih ada kepemilikan publik atas saham SRIL," kata Senior Analyst Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta kepada Liputan6.com, Kamis (24/10/2024).
Saat dinyatakan lolos PKPU pada 2022 lalu, Sekretaris perusahaan Sritex, Welly Salam mengatakan perseroan akan mengupayakan agar tidak terjadi delisting. Perseroan saat itu mengaku tengah mengurus administrasi untuk pemenuhan syarat dibukanya suspensi oleh Bursa,salah satunya adalah penyelenggaraan paparan publik.
Buyback
Dalam kesempatan yang lain, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna mengatakan agar perusahaan yang berpotensi delisting agar melakukan pembelian kembali saham perusahaan atau buyback.
Pernyataan itu menanggapi pengumuman OJK mengenai sejumlah perusahaan tercatat yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Nyoman mengatakan, agar delisting berhasil maka perlu ada pihak yang siap melakukan pembelian kembali. Diharapkan, pihak yang akan mengeksekusi pembelian kembali diutamakan dari pihak internal perusahaan yang akan delisting.
"Kita sangat mengharapkan pelaksanaan delisting itu berhasil. Bagaimana biar berhasil, ya proses buyback tercapai. Bagaimana buyback tercapai, ya yakinkan bahwa ada pihak yang ditunjuk untuk buyback," kata Nyoman.
Sritex Pailit, Perusahaan Tekstil Terbesar di Asia Tenggara
Kabar tidak menggembirakan datang dari sektor manufaktur. Produsen tekstil dan produk tekstil, PT Sri Rejeki Isman (Sritex) akhirnya diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang.
Keputusan pailit setelah mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi di Semarang, Rabu, membenarkan putusan yang mengakibatkan PT Sritex pailit.
Menurut dia, putusan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex. "Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022," katanya.
Dalam putusan tersebut, kata dia, ditunjuk kurator dan hakim pengawas. "Selanjutnya kurator yang akan mengatur rapat dengan para debitur," tambahnya.
Sebelumnya, pada bulan Januari 2022 PT Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, yang mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Pengadilan Niaga Kota Semarang mengabulkan gugatan PKPU terhadap PT Sritex dan tiga perusahaan tekstil lainnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati.
Advertisement
Sempat Bantah
Emiten tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex sempat buka suara terkait isu yang menyebut perseroan tengah mengalami kebangkrutan.
Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam menjelaskan perseroan tidak mengalami kebangkrutan dan masih beroperasi. “Tidak benar, karena perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan,” kata Welly dalam keterangan resmi pada keterbukaan informasi, dikutip Selasa (25/6/2024).
Meskipun begitu, Welly mengakui kinerja perseroan saat ini sedang mengalami penurunan pendapatan secara drastis yang disebabkan berbagai faktor yaitu akibat dari COVID-19 hingga adanya perang.
Hal ini membuat persaingan ketat di industri tekstil global. Kemudian, adanya over supply tekstil di China menyebabkan terjadinya penurunan harga.
“Produk dumping tersebut menyasar terutama ke negara-negara di luar Eropa dan China yang longgar aturan impornya, salah satunya Indonesia,” jelasnya.
Minta Relaksasi
Akibat kondisi ini, Welly mengungkapkan perseroan telah memohon relaksasi kepada kreditur dan mayoritas sudah memberikan persetujuan. Restrukturisasi ini melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) telah selesai dilakukan.
"Restrukturisasi lewat PKPU sudah selesai dan berkekuatan hukum tetap sesuai putusan PKPU tertanggal 25 Januari 2022 atas perkara PKPU No. 12/Pdt-Sus-PKPU/2021/PN Niaga Semarang," lanjutnya Welly.
Welly menambahkan, perseroan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha dan operasional dengan menggunakan kas internal hingga dukungan sponsor.
Advertisement