Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau berada di zona hijau pada perdagangan awal 2025. Pada perdagangan perdana 2025, IHSG ditutup naik 1,18 persen ke posisi 7.163,20.
Penguatan berlanjut, IHSG ditutup naik 0,02 persen ke posisi 7.164 pada Jumat, 3 Januari 2025. Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mencermati IHSG kemungkinan akan menghadapi tekanan pada awal 2025. Hal itu terutama karena sentimen penerapan PPN 12%, diperburuk oleh pelemahan nilai tukar rupiah di level Rp 16.300 per USD.
Baca Juga
"Sentimen negatif ini dapat terlihat dari aksi jual bersih investor asing selama bulan November, yang tercatat net sell sebesar Rp 11,2 triliun," kata Hendra kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2024).
Advertisement
Namun, jika pemerintah berhasil memberikan kebijakan pro-pasar yang mendukung stabilitas makroekonomi dan daya beli masyarakat, tekanan ini dapat berkurang.
"Dengan pendekatan yang bijak, seperti menjaga stabilitas rupiah dan menciptakan iklim investasi yang kondusif, target optimis IHSG berada di level 7.800, bahkan 8.000 pada akhir 2025," imbuh Hendra.
Meski begitu, Head of Research Division Bursa Efek Indonesia (BEI) Verdi Ikhwan optimistis IHSG akan kembali bangkit dan mencatatkan rekor baru tahun depan. Keyakinan itu merujuk pada perkembangan pasar modal dari beberapa sisi. Seperti perkembangan dari sisi supply (produk) maupun dari sisi permintaan dalam hal ini investor.
"All time high di tahun ini 7.905. Saya cukup yakin tahun depan kita bisa all time high baru lagi, di tahun 2025," kata Verdi pemberitaan Liputan6.com sebelumnya.
Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi mematok target IHSG berdasarkan Enterprise Value per Share yang saya dapat untuk 2025 di kisaran level 8296.79 dengan PER 14.05x.
Faktor yang Dapat Dukung Kinerja IHSG
Beberapa faktor yang dapat mendukung kinerja IHSG tahun ini, antara lain target pemerintah menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5–5,3%, di mana konsumsi rumah tangga tetap menjadi pendorong utama.
Selain itu, Proyek Ibu Kota Negara (IKN) berlanjut sebagai katalis positif, meningkatkan sektor konstruksi, properti, dan material dasar.
"Tahun 2025 menjadi awal pemerintahan baru pasca Pilpres dan Pilkada serentak 2024. Stabilitas politik dan kejelasan arah kebijakan ekonomi akan memberikan kepercayaan kepada investor domestik maupun asing," kata Lanjar.
Dia menambahkan, emiten dengan posisi pasar yang kuat, profitabilitas stabil, dan manajemen risiko yang baik akan lebih menarik terutama yang telah terkoreksi signifikan jelang akhir tahun 2024.
Bersamaan dengan itu, diperkirakan terjadi pemulihan ekonomi dunia, terutama di Tiongkok, AS, dan Eropa, akan mempengaruhi permintaan ekspor Indonesia, khususnya komoditas utama seperti batu bara, nikel, dan CPO.
Advertisement
Penutupan IHSG pada 2 Januari 2025
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak signifikan pada perdagangan perdana, Kamis (2/1/2025). Penguatan IHSG terjadi di tengah transaksi harian saham di bawah Rp 10 triliun dan mayoritas sektor saham beragam.
Mengutip data RTI, IHSG melonjak 1,18 persen ke posisi 7.163,20. Indeks saham LQ45 bertambah 1,28 persen ke posisi 837,20. Sebagian besar indeks saham acuan menghijau.
Pada awal 2025, IHSG menyentuh level tertinggi 7.163,20 dan level terendah 7.088,32. Sebanyak 316 saham menghijau sehingga angkat IHSG. 270 saham melemah dan 210 saham diam di tempat.
Total frekuensi perdagangan 1.097.263 kali dengan volume perdagangan 19,8 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 9 triliun. Posisi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.190.
Mayoritas sektor saham melemah awal 2025. Sektor saham consumer nonsiklikal pimpim koreksi. Sektor saham consumer nonsiklikal turun 1,72 persen. Disusul sektor saham kesehatan merosot 1,43 persen dan sektor saham industri terpangkas 1,34 persen, dan sektor saham consumer siklikal melemah 1,18 persen.
Kemudian sektor saham infrastruktur melemah 0,87 persen dan sektor saham transportasi terperosok 0,27 persen.
Lalu sektor saham basic mendaki 1,78 persen, dan catat penguatan terbesar. Sektor saham energi dan keuangan masing-masing melesat 1,5 persen. Sektor saham teknologi bertambah 1,32 persen dan sektor saham properti naik 1,03 persen.
Sentimen IHSG
Mengutip Antara, dalam kajian tim riset PT Philip Sekuritas Indonesia menyebutkan, indeks saham di kawasan Asia akan terus berada di bawah tekanan, paling tidak hingga akhir kuartal I 2025.
"Investor melihat kebijakan America First akan mendongkrak pertumbuhan dan tingkat inflasi di Amerika Serikat (AS), menopang nilai tukar dolar AS serta membatasi ruang bagi bank sentral di Asia untuk memangkas suku bunga," demikian seperti dikutip.
Investor memandang kinerja indeks saham di Asia tidak akan mengalahkan kinerja indeks saham di AS dalam waktu dekat, meskipun valuasi saham di Asia yang sudah sangat murah dibandingkan dengan valuasi saham di AS.
Investor cenderung fokus pada perusahaan-perusahaan dengan aliran kas yang kuat dan neraca yang sehat, karena perusahaan seperti ini lebih mampu menghadapi situasi di mana suku bunga akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama, serta juga menyesuaikan diri dengan kebijakan tarif perdagangan yang baru di AS.
Dari sisi makroekonomi, data Manufacturng PMI Korea Selatan turun ke level 49,0 pada Desember 2024, dari sebelumnya 50,6 pada November 2024, yang menandakan kontraksi ketiga dalam empat bulan terakhir dan merefleksikan masih lemahnya sektor manufaktur Korea Selatan.
Perhitungan akhir (final) data Judo Bank Manufacturing PMI Australia turun ke level 47,8 pada Desember 2024 dari level 49,4 pada November 2024, dan lebih buruk dari perhitungan awal 48,2, yang menandakan pemburukan kondisi di sektor manufaktur selama sebelas bulan beruntun.
Dari dalam negeri, data S&P Global Manufacturing PMI Indonesia melompat ke level 51,2 pada Desember 2024 dari level 49,6 pada bulan sebelumnya, yang merupakan pertumbuhan pertama di sektor manufaktur sejak Juni 2024.
Advertisement