Apa Bikin Film Superhero Lokal Bakal Untung?

Mungkinkah kita melihat Gundala dan Godam di layar lebar bersaing dengan Superman dan Batman?

oleh Ade Irwansyah diperbarui 14 Mei 2014, 19:40 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2014, 19:40 WIB
Apa Bikin Film Superhero Lokal Bakal Untung?
Mungkinkah kita melihat Gundala dan Godam di layar lebar bersaing dengan Superman dan Batman?

Liputan6.com, Jakarta Setiap musim panas, Hollywood menyerbu bioskop dengan film-film superhero. Film jenis ini sudah terbukti menjadi tambang emas bagi Hollywood menangguk untung.

Film superhero keluaran Marvel, "Avengers" (2012) meraih untung sampai US$ 1,5 miliar (setara Rp 17,1 triliun) dan berada di urutan ketiga film terlaris sepanjang masa. Film superhero lain, "Iron Man 3", "The Dark Knight Rises", dan "The Dark Knight" juga memperoleh lebih dari US$ 1 miliar.

Angka-angka itu tentu menggiurkan. Oleh sebab itu Hollywood tak henti membuat film superhero saban tahun. Tahun ini kita sudah disuguhi kelanjutan aksi Captain America dan Spider-Man. Layar bioskop sebentar lagi dipenuhi mutan X-Men lewat "X-Men: Days of Future Past" dan para penjaga galaksi persenbahan Marvel alias "Guardians of the Galaxy".

Film-film superhero ditargetkan studio Hollywood setidaknya mendatangkan uang lebih dari US$ 200 juta. Di bawah angka itu, studio dipastikan merugi karena bujetnya rata-rata di atas US$ 100-150 juta.

Jika film superhero mendatangkan untung yang demikian besar bagi Hollywood, apa produser kita tak tergoda membuat film jenis itu? Mungkinkah kita melihat superhero lokal macam Gundala, Godam, atau Sri Asih kembali ke layar lebar bersaing dengan Superman, Batman, Captain America atau Spider-Man?

Film-film superhero lokal masa lalu

Apa Bikin Film Superhero Lokal Bakal Untung?
Mungkinkah kita melihat Gundala dan Godam di layar lebar bersaing dengan Superman dan Batman?

Sebelum menjawab pretanyaan krusial di atas, Anda harus tahu dulu sineas kita sudah membuat film superhero sejak tahun 1950-an. Tahun 1954, Turino Djunaidy membuat "Sri Asih" yang diangkat dari komik karya RA Kosasih. Cerita Sri Asih seperti versi perempuan Superman. Ia bisa terbang dan tenaga yang kuat sekali. Sri Asih tak lain gabungan Wonder Woman dan Superman, plus ramuan lokal (kostumnya mirip dewi khayangan). Tahukah juga Anda, sebelum Hollywood merilis "Superman" (1978), kita sudah lebih dulu membuat "Rama: Superman Indonesia" (1974)?

Setelahnya pula sineas kita membuat "Gundala Putera Petir" (1981, sutr. Lilik Sudijo). Kisahnya seputar Sancoko (diperankan Tedy Purba), seorang ilmuwan, berubah jadi superhero bernama Gundala. Lalu ada pula "Darna Ajaib" (1980, Lilik Sudijo) yang berkisah tentang anak ajaib berkekuatan super. Kepopuleran serial "The Six Million Dollar Man" dan "Bionic Woman" di TVRI melahirkan versi lokalnya. "Manusia 6 Juta Dollar" (1981, Ali Shahab), versi Warkop DKI dari serial "The Six Million Dollar Man", sedang "Gadis Bionik" (1982, Ali Shahab) dengan Eva Arnaz sebagai versi lokal "Bionic Woman".

Setelah itu film superhero lokal mati suri dan baru bangkit lagi di dekade 2000-an. Nia Dinata memproduseri sebuah film superhero berjenis komedi "Madame X" (2010).

Kenapa film superhero lokal hanya sedikit?

Pangkal soalnya adalah bujet produksi. Tidak murah membuat film superhero saat ini. Dikatakan produser Ichwan Persada pada
lliputan6.com, Rabu (14/5/2014), bujet produksi yang rasional bagi film Indonesia saat ini rata-rata antara Rp 2-3 miliar. Dengan jumlah itu, produser masih bisa berharap dapat untung dengan cukup mendatangkan 200-300 ribu penonton ke bioskop. (catatan saja, ada juga produser yang bisa membuat dua film dengan bujet Rp 2 miliar. Biasanya film horor murahan.)

Persoalannya, tak mungkin membuat film superhero yang menuntut efek khusus dahsyat dengan bujet Rp 3 miliar. Dikatakan Ichwan, bahkan dengan bujet yang terbilang kolosal untuk ukuran film Indonesia, yakni Rp 10 miliar, takkan cukup. "Bisa saja dibuat dengan bujet segitu, tapi hasilnya cemen," kata Ichwan yang antara lain memproduseri "La Tahzan" ini.

Harap garis bawahi kata "cemen" di atas. Ditegaskan Ichwan, penonton film Indonesia adalah penonton film yang kejam. Saat film yang mereka tonton tidak asyik alias "cemen", mereka langsung menolak.

Targetkan pasar luar negeri

Apa Bikin Film Superhero Lokal Bakal Untung?
Mungkinkah kita melihat Gundala dan Godam di layar lebar bersaing dengan Superman dan Batman?

Di sini masalahnya. Saat film superhero lokal tayang di bioskop saingannya bukan lagi film lokal, tapi film Hollywood. "Penonton akan
langsung membandingkannya dengan (film superhero) Hollywood," kata Ichwan.

Pertanyaannya, apa ada produser film lokal yang berani berinvestasi bikin film superhero dengan efek CGI (computer generated
imagery) yang mahalnya sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1 triliun?

Sekadar informasi, "The Raid 2: Berandal" bujetnya sampai Rp 54 miliar. Jika mengandalkan penonton tanah air, sulit filmnya bakal balik
modal. "The Raid 2" beruntung karena filmnya juga tayang di banyak negara, termasuk Amerika.

Hollywood berani investasi mahal bikin film superhero pun tak semata mengandalkan pasar dalam negeri. Yang diincar Hollywood kini justru pasar luar negeri yang gemuk. Negara berpopulasi besar dengan banyak bioskop seperti Rusia dan Tiongkok jadi target Hollywood.
Resep "The Raid 2" yang juga menyasar pasar luar negeri bisa jadi model bila ingin bikin film superhero lokal yang mendatangkan untung. Namun pertama yang harus dilakukan, pastikan production value-nya tak kalah dari film bikinin Hollywood.

Di dunia maya bertebaran kabar Gundala tengah siap kembali diangkat ke layar lebar. Kita menantikan sambil berharap-harap cemas apa filmnya bakal bisa bersanding dengan Spider-Man, Superman, atau Batman.

(ade)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya