Liputan6.com, Jakarta Ungkapan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, berlaku di industri hiburan tanah air. Dua tahun belakangan ini, kita dijejali banyaknya anak artis yang sudah beranjak ABG terjun ke dunia hiburan, terutama akting.Â
Â
Mengesampingkan kualitas dan kemampuan mereka dalam berakting, publik pun menerima dengan terbuka. Awalnya, buat kita tak penting mereka bisa berakting atau tidak. Yang penting kita bisa menikmati wajah mereka yang tak kalah rupawan dari artis-artis remaja lain yang sudah ada.
Â
Dimulai dengan tampil di acara televisi sketsa komedi dan game show yang mewabah 2013 lalu, nama-nama macam Verrell Bramasta, Shawn Adrian, Axel Matthew dan Brandon Salim angkat nama. Sebenarnya tiga anak pentolan band DEWA 19, Ahmad Dhani yaitu Al-El-Dul sudah cukup eksis sebelumnya. Mereka bahkan punya acara yang meliput kehidupan sehari-hari mereka di sebuah stasiun TV pada 2012 lalu.
Â
Namun, dua tahun ini rasanya jadi tahunnya mereka bergerilya di layar lebar. Pada 2014 lalu, Al Ghazali si sulung Dhani, memulai karier aktingnya dengan membintangi sebuah film layar lebar berjudul Runaway. Berlanjut dengan LDR (2015) yang juga jadi debut Verrell Bramasta.
Â
Lalu Shawn Adrian, putra Andy Soraya yang ganteng itu, mencicipi akting perdana di Hijabers in Love dan setahun kemudian mendampingi Yuki Kato di This is Cinta. Tak ketinggalan, Dhea Seto putri pemerhati anak Kak Seto juga terjun ke layar lebar lewat film Me & You vs The World.Â
Â
Â
Eva Celia Latjuba yang menandai karier beraktingnya di layar lebar dalam film Adriana (2013), tahun lalu kembali hadir lewat film laga, Pendekar Tongkat Emas. Willy Dozan, salah satu aktor laga legendaris Indonesia, menyutradarai debut film anaknya sendiri, Leon Dozan di Duel: The Last Choice.
Â
Tahun ini, Teuku Rassya, putra Tamara Bleszynski menyusul main di dua film; Cerita Cinta dan 7 Hari Menembus Waktu bersama Brandon Salim, putra Ferry Salim. El adik Al tak mau ketinggalan, dengan main di Kampung Zombie bareng anak Jeremy Thomas, Axel Matthew. Dari daftar tersebut, bagaimana hasilnya?
Â
Yang perlu diingat, tak semua nama ini bisa berakting atau dilahirkan menjadi aktor.Â
Â
Shawn Adrian contoh paling nyata. Debut aktingnya yang kaku dimaklumi dan tak mengganggu karena perannya sebagai Ketua Rohis memang mengharuskannya jadi cowok pendiam nan kalem. Tapi lalu kita melihatnya lagi di film kedua. Didampingkan dengan Yuki yang sudah mumpuni, Shawn terasa jomplang di banyak sisi. Terasa sekali Yuki berusaha "menolong" Shawn agar setidaknya tak tampil bak boneka.
Â
Beda halnya dengan Verrell Bramasta. Tak bisa dibilang sangat bagus, tapi Verrell menampilkan akting yang greget walau di `LDR` ada nama Al Ghazali. Mungkin ia sadar jika kalah pamor atau penonton memandang sebelah mata. Hasilnya, Verrell pun layak mendapat pujian. Setidaknya ia tak main aman di debutnya tersebut.
Â
Â
Lalu, bagaimana pula dengan animo penonton?
Kualitas harusnya berbanding lurus dengan hasil, begitupun sebaliknya. Lesunya minat penonton film dalam 2 tahun ini juga berimbas ke film yang anak-anak ini bintangi. Dari nama-nama diatas, mungkin hanya Al dan Eva Celia yang terbilang mujur. `Runaway` tak kurang disaksikan 347.442 orang dan `Pendekar Tongkat Emas` ditonton tak sampai 300 ribu. Yang lain? Menggaet 100 ribu penonton pun sulit. Mengapa demikian?
Menjawab pertanyaan ini berarti juga menjawab pertanyaan siapa penggemar mereka?
Dikarunia wajah ganteng dan cantik sepertinya memang jadi syarat wajib untuk terjun ke dunia hiburan terutama anak-artis ini. Ditambah embel-embel nama orang tua dibelakangnya, mudah saja buat mereka menggaet fans. Kebanyakan fans tersebut adalah remaja, ABG, anak sekolahan. Pasar yang potensial sebetulnya.
Tapi sayangnya, fans kategori ini rata-rata jarang sekali ke bioskop. Mereka tak terlalu tertarik menonton film Indonesia dan lebih suka film luar khususnya film-film blockbuster Hollywood.
Mereka juga cenderung hanya eksis di media sosial saja. Hal ini rasanya bukanlah tindakan yang dapat men-support hasil kerja sang idola.
Kualitas harusnya berbanding lurus dengan hasil, begitupun sebaliknya. Lesunya minat penonton film dalam 2 tahun ini juga berimbas ke film yang anak-anak ini bintangi. Dari nama-nama diatas, mungkin hanya Al dan Eva Celia yang terbilang mujur. `Runaway` tak kurang disaksikan 347.442 orang dan `Pendekar Tongkat Emas` ditonton tak sampai 300 ribu. Yang lain? Menggaet 100 ribu penonton pun sulit. Mengapa demikian?
Menjawab pertanyaan ini berarti juga menjawab pertanyaan siapa penggemar mereka?
Dikarunia wajah ganteng dan cantik sepertinya memang jadi syarat wajib untuk terjun ke dunia hiburan terutama anak-artis ini. Ditambah embel-embel nama orang tua dibelakangnya, mudah saja buat mereka menggaet fans. Kebanyakan fans tersebut adalah remaja, ABG, anak sekolahan. Pasar yang potensial sebetulnya.
Tapi sayangnya, fans kategori ini rata-rata jarang sekali ke bioskop. Mereka tak terlalu tertarik menonton film Indonesia dan lebih suka film luar khususnya film-film blockbuster Hollywood.
Mereka juga cenderung hanya eksis di media sosial saja. Hal ini rasanya bukanlah tindakan yang dapat men-support hasil kerja sang idola.
Â
Contohnya, saat film idolanya tersebut tayang, biasanya selalu diadakan nonton bareng (nobar). Fans menyerbu lokasi nobar dan biasanya yang mereka lakukan adalah sekedar bertemu muka, syukur-syukur bisa foto bareng. Setelahnya memposting di media sosial.
Terlalu sayang rasanya bila harus mengeluarkan uang Rp 35-50 ribu hanya untuk menonton film. Toh, mereka berpikir filmnya akan tayang di TV tiga-empat bulan lagi. Jika tak ada nobar, yang terjadi kemudian filmnya flop di pasaran. Tidak semua kejadian, sih. Ada juga yang memakai alasan film sang idola tak tayang di bioskop di daerahnya.
Hal ini jadi terasa lucu ketika sang idola mengadakan acara meet and greet. Jumlah fans yang berlimpah biasanya merepotkan. Alhasil, management mengajak admin fanbase si artis untuk membuat acara yang bersifat privat. Biasanya hanya membatasi 30-50 fans.
Anehnya, berapapun biayanya, fans-fans ini sanggup membayar. Ada lho, yang menjual tiket hingga Rp 500 ribu per lembar. Dan ajaibnya, banyak yang sanggup membeli.
Ini tak hanya terjadi pada anak-anak artis saja, tapi juga hampir semua artis remaja yang tengah naik daun dan punya fans tak sedikit.
Jadi, tak perlu heran jika film mereka jeblok dan rasanya jarang yang bisa tembus Box Office. Dan akhirnya, ungkapan buah jatuh tak jauh dari pohonnya jatuhnya hanya sekedar pilihan karier bukan soal keberhasilan.
Punya orangtua dengan karier cemerlang tak bisa ditularkan dengan mudah ke anak. Tak hanya mengandalkan nama belakang sang orangtua, perlu kerja keras dan kualitas yang setara minimal menyamai, setidaknya membuat publik di luar fans bisa mengapresiasi. (Puj/Mer)
Advertisement
Lanjutkan Membaca ↓