The Beatles Eight Days A Week: Rekam Jejak Band, Ikon Budaya Pop, dan Simbol Sebuah Generasi

Dalam film The Beatles: Eight Days A Week, The Beatles membuka jalan bagi musisi Inggris menginvasi pusat industri seni dunia, Hollywood.

oleh Wayan Diananto diperbarui 16 Apr 2020, 16:40 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2020, 16:40 WIB
Poster film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)
Poster film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)

Liputan6.com, Jakarta - The Beatles, grup musik asal Liverpool itu, membuka jalan bagi musisi Inggris menginvasi pusat industri seni dunia, Hollywood. The Beatles membabat alas di era 1960-an, jauh sebelum dunia mengelukan Coldplay dan Adele, tentunya. The Beatles adalah yang terbesar dan selamanya menjadi legenda.

Empat serangkai John Lennon, George Harrison, Paul McCartney, dan Ringo Starr, mendefinisikan kebebasan bermusik. The Beatles melewati sekat-sekat aliran politik dan mendikte umat manusia bahwa musik bahasa paling universal.

The Beatles, hingga artikel ini disusun, menerbangkan 20 tembang di puncak tangga lagu Billboard Hot 100. Tak ada yang menyamai mereka. Mariah Carey yang mampu menjerit hingga 5 oktaf, “hanya” bisa menempatkan 19 lagu di puncak Billboard Hot 100.

Keluar Kandang dan Mendunia

Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)
Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)

Rekam jejak The Beatles tak akan cukup digambarkan dalam sebuah film dokumenter. Sineas Ron Howard paham betul akan konsekuensi ini. Karenanya, dalam The Beatles Eight Days A Week, ia memotret perjalanan The Beatles di awal era 1960-an.

Inilah era ketika The Beatles keluar dari kandang Liverpool lalu menancapkan tiga tembang mereka di tangga lagu Billboard Hot 100 termasuk “I Wanna Hold Your Hand” dan “She Loves You.” Film ini merefleksikan pencapaian The Beatles dari manggung di ABC Cinema Manchester, Inggris, pada 1963 lalu mengamen di Humberg Jerman dan sejumlah negara Eropa.

Tak sekadar memamerkan rekam jejak, film ini menceritakan bagaimana The Beatles memberi dampak pada banyak orang. Seorang jurnalis radio mengajukan surat wawancara kepada manajer The Beatles, Brian Epstein. Tak dinyana, Brian mengizinkannya mengikuti tur The Beatles di sepanjang Amerika Serikat.

 

Tak Punya Warna Kulit

Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)
Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)

Sayangnya, tur berbareng dengan persiapan Muhammad Ali, penembakan Presiden John F. Kennedy, dan ricuh perang Vietnam. Sang jurnalis hendak mundur, namun atasannya mengingatkan bahwa menjadi bagian konser The Beatles hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.

Lalu kita mendengar kesaksikan perempuan kulit hitam yang dihadiahi ibunya tiket konser The Beatles di sebuah stadion. Berbareng dengan konser itu, terbit politik Apharteid, yang membedakan layanan berdasarkan warna kulit. The Beatles tak menggubris kebijakan ini.

Mereka percaya, mengapresiasi seni termasuk musik adalah hak semua orang. Perempuan ini lantas berada di stadion menonton The Beatles. Ia “dikepung” ribuan cewek kulit putih. Momen ini menyadarkannya, The Beatles tak punya warna kulit. Ini menginspirasinya untuk berkesenian. Sejarah lalu mencatat perempuan kulit hitam ini meraih Piala Oscar lewat film Ghost. Namanya, Whoopi Goldberg.

Lennon Keseleo Lidah

Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)
Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)

The Beatles Eight Days A Week murni menempatkan para personel The Beatles sebagai manusia. Proses kreatif bermusik di Abbey Road Studio jelas sajian yang tak terelakkan. Ron Howard tak lantas menempatkan band ini sebagai manusia setengah dewa untuk disembah. Noda dalam karier ikut divisualkan.

Salah satunya, saat Lennon “keseleo lidah” dengan menyebut The Beatles lebih besar ketimbang Yesus Kristus. Ujaran ini memantik sentimen negatif. Para pemuja lantas menjadi pembenci. CD dan cindera mata The Beatles dibakar dan Lennon dikondisikan minta maaf kepada dunia.

Padahal, menurut Paul, pernyataan Lennon merespons fenomena banyaknya gereja yang kehilangan jemaat. Gairah masyarakat untuk berjumpa dengan Tuhan di rumah ibadah terjun bebas. Ini semacam kritik sosial, namun diksi Lennon direspons sebatas kulit permukaan sehingga memicu kehebohan.

Absennya

Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)
Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)

The Beatles Eight Days A Week potret penuh warna yang merefleksikan ketulusan bermusik, kejenuhan di puncak popularitas, dan kesalahan manusia. Film dokumenter ini romantika para personel dalam berkesenian. Sebatas itu. Kita tidak disuguhi cinta untuk Yoko Ono dan sejumlah cerita personal lain.

Kalau pun ada, sebatas persamaan Lennon-McCartney yang kehilangan ibu dan itu membuat ikatan emosi keduanya makin solid. Karena durasi terbatas, kita juga tak mendengar kebesaran “Yesterday” yang bertengger di puncak Billboard Hot 100 selama 4 minggu dan hingga kini menjadi lagu paling banyak di-kover dalam sejarah. Justru ketidaklengkapan ini menurut kami membuat The Beatles Eight Days A Week terasa sempurna.

Film ini tak menempatkan diri sebagai yang paling tahu soal The Beatles. Bagaikan ponsel cerdas, Ron Howard dan tim menjadikan film ini berisi tangkapan layar yang tak banyak diketahui orang, meminjam mulut sejumlah narasumber dengan latar beragam.

Dari Suara Hingga Penyuntingan

Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)
Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)

Dari narasumber lingkar dalam hingga penggemar yang jejeritan di stadion. Dari yang akhirnya jadi orang sukses hingga yang bukan siapa-siapa. Variasi sudut pandang yang ditawarkan film ini diterjemahkan dalam banyak adegan. 

Adegan-adegan itu bergulir mengikuti tempo cerita yang disampaikan para narasumber. Yang tersaji di layar dari foto buram hitam putih, video berwarna pudar dengan fokus buram, hingga dokumen yang telah direstorasi hingga visualnya tampak tajam berikut suara jernihnya.

Ron Howard, yang meraih 2 Oscar lewat film A Beautiful Mind menjadikan The Beatles Eight Days A Week dokumentasi dengan pencapaian teknis tingkat tinggi. Visual dan suara film ini membawa kita masuk ke era yang mungkin Anda dan kami belum lahir. Penyuntingannya rapi dan teliti.

Lagu Yang Diasah Oleh Waktu

Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)
Adegan film The Beatles Eight Days a Week. (Foto: IMDb/ White Horse Pictures)

Film ini bagai mesin waktu. Dengannya, kita berkendara sembari menapak tilas tempat-tempat bersejarah The Beatles, termasuk stadion yang memuat lebih dari 56 ribu penonton. Lalu kita menginsyafi, The Beatles bukan hanya ikon budaya pop era jadul.

Lagu-lagu mereka diasah oleh waktu hingga menjadi abadi. Menembus ruang dan waktu. Musik di tangan mereka adalah proses kreatif yang mengalir dalam ketulusan. Mereka menginspirasi umat manusia lalu menjadi simbol lahirnya sebuah generasi. Mereka sendiri tak paham mengapa bisa populer.

Saat ditanya wartawan soal resep membuat lagu populer, para personel bilang tidak tahu. Andai tahu resep bikin musik populer, personel The Beatles memilih membentuk grup musik baru dan memanajerinya. Film ini dapat Anda saksikan via aplikasi KlikFilm. Anda bisa mengunduhnya di IOS dan Play Store. Setiap bulan, ada banyak film anyar di KlikFilm yang bisa disimak saat di rumah aja.

 

 

Pemain: John Lennon, George Harrison, Paul McCartney, Ringo Starr, Richard Curtis, Sigourney Weaver, Whoopi Goldberg

Produser: Brian Gazer, Nigel Sinclair, Ron Howard, Scott Pascucci,

Sutradara: Ron Howard

Penulis: Mark Monroe

Produksi: Apple Corps, Imagine Entertainment, White Horse Pictures

Durasi: 1 jam, 37 menit

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya