Gedung Ini Pernah Jadi Saksi Sejarah Bangsa dan Pernikahan Warga Surabaya

GNI adalah gedungnya masyarakat Surabaya, yang pada masa penjajahan Belanda digunakan sebagai ruang pertemuan untuk membahas hal-hal yang terkait nasib rakyat jajahan.

oleh Liputan Enam diperbarui 31 Jul 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2019, 06:00 WIB
(Foto: Dok Kemendikbud)
Gedung Nasional Indonesia di Surabaya, Jawa Timur (Foto: Dok Kemendikbud)

Liputan6.com, Surabaya - Di antara banyaknya gedung bersejarah di Surabaya, Jawa Timur, Gedung Nasional Indonesia (GNI), salah satu gedung yang menjadi saksi sejarah Bangsa Indonesia dan perjuangan Dr. Soetomo. 

Di zaman penjajahan, gedung ini menyimpan cerita terutama perjuangan Dr Soetomo. Pemerintah Kota Surabaya pun menetapkan gedung ini sebagai salah satu bangunan cagar budaya.

Liputan6.com mengutip dari buku berjudul Surabaya Punya Cerita Vol.1 karya Dhahana Adi, para pendiri GNI berjuang dalam mengupayakan kesejahteraan warga Surabaya pada kala itu. Nah, siapa sangka kini gedung tersebut  kini sering digunakan untuk acara-acara pernikahan.

Pembangunan gedung ini tak lepas dari peranan Dr Soetomo. Pada 1923, Dr. Soetomo kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya di Universitas Amsterdam dan Universitas Hamburg. Selanjutnya, ia mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Indonesische Studieclub (IS) pada 11 Juli 1924.

Ia menjalankan, perkumpulan tersebut berdasarkan pengalamannya ketika masih menempuh studi di Belanda. IS merupakan persatuan Hindia Belanda yang berusaha meningkatkan kesadaran politik masyarakat pribumi mengenai situasi politik dalam dan luar negeri.

IS pula memusatkan perhatian kepada para penghuni Surabaya, dengan harapan anggotanya terbiasa peduli dengan kesusahan kampung. Nama IS diubah menjadi Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) pada Januari 1931.

Suatu ketika, Dr. Soetomo memiliki ide untuk mendirikan Gedung Nasional Indonesia (GNI). Hal itu dilandasi ketika bangsa Indonesia di Surabaya ingin mengadakan rapat umum di gedung untuk membahas masalah yang terkait nasib rakyat jajahan.

Namun, hal itu seringkali gagal karena tekanan politik pemerintah Belanda, padahal sewa gedung sudah dibayarkan. Ide Dr. Soetomo itu disambut baik oleh anggota IS yaitu R.M.H. Soejono, R.P. Soenario Gondokoesoemo, R. Soedjoto, dan Achmad Djais.

Ide itu juga terinspirasi dari gedung nasional  Polania. Pada saat itu rakyat Polania mendirikan gedung nasionalnya ketika mengungsi ke Swiss karena negaranya diserang bangsa Eropa antara lain Jerman, Austria, Hongaria, dan Rusia.

Langkah PBI dalam membangun GNI dimulai dengan membentuk Yayasan Gedung Nasional Indonesia pada 21 Juni 1930. Notarisnya bernama H.W.Hazenberg, kemudian di sahkan oleh Road van Justitie dan Hoggerechten di Batavia.

Tanah untuk membangun GNI dibeli dari Tuan Ruthe dan Maxen seharga f.48.000 ditambah ongkos notaris, dan biaya balik nama sebesar f.2000 dan f.50.000. Padahal rencana awal pembangunan gedung tersebut menghabiskan biaya f.200.000.

Kemudian, pendiri GNI menyumbangkan dana pribadi sejumlah f.10.000. Mereka masih mencari dana lagi dengan mengadakan Pasar Derma Nasional di Kranggan, dan ternyata acara tersebut cukup sukses.

Pembangunan GNI disambut baik oleh masyarakat, mereka pun menyumbang bata merah, kapur, semen, pasir. Selain itu, anak-anak juga memberikan sumbangan dengan mengorbankan tabungan disimpan dalam celengan.

Pendiri GNI mengadakan pertunjukan dalam acara Pasar Derma tersebut, di sana ada penampilan Ludruk Cak Durasim, mereka juga tidak meminta bayaran. Peletakan batu pertama GNI diresmikan pada 13 Juli 1930 oleh “Kaum Isteri Indonesia” di Bubutan, Surabaya.

Hal itu diabadikan dengan batu peringatan Kongres Wanita PPI (Perikatan Perhimpoenan Isteri Indonesia) pada 13 Desember 1930. Pada awal 1932, pembangunan gedung ini hampir rampung dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya Kongres Indonesia Raya I pada 1-3 Januari 1932.

Acara tersebut dihadiri Ir. Soekarno setelah ia keluar dari penjara Sukamiskin pada Desember 1931. GNI pernah menjadi sarana pementasan kesenian berbau kritik politik, melalui penampilan Ludruk Cak Durasim.

Pemimpin kelompok ludruk tersebut melancarkan kritik-kritik sumbang terhadap pemerintah Belanda. Pada 1930, Cak Durasim mengumumkan jenis ludruk baru yang tidak main di kalangan kampung lagi, tetapi di panggung modern GNI.

Ludruk Cak Durasim kemudian menjadi partner bagi PBI. Pementasan kelompok ludruk memberikan pemasukan bagi PBI dan GNI. Berkat pementasan tersebut, ludruk sempat mencapai popularitasnya. Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena ada pesaing baru yaitu kesenian ketoprak.

Penggunaan awal GNI sebagai tempat pertemuan kaum pergerakan. Itu yang menandakan gedung ini menjadi simbol politik masyarakat Surabaya. Tujuan PBI menggandeng ludruk agar memiliki penghubung kepada masyarakat dalam menyalurkan tujuan politik dan kritiknya kepada kolonialisme.

Kritik yang disampaikan lewat kesenian seperti ini bisa lebih mengena dan mudah dipahami oleh masyarakat. GNI tetap berfungsi sebagai tempat pementasan kesenian ketika tentara pendudukan Jepang  memerintah Surabaya.

Namun, fungsinya sebagai ruang pertemuan berkurang. GNI bukan lagi sebagai tempat untuk membahas politik, karena pada waktu itu Jepang melarang adanya perkumpulan semacam itu beserta aktivitasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Pernah Jadi Lokasi Syuting Film

(Foto: Dok Kemendikbud)
Gedung Nasional Indonesia di Surabaya, Jawa Timur (Foto: Dok Kemendikbud)

Pada 29 November 1945, pendopo dan paviliun selatan GNI hancur karena mortir. Gedung ini ditinggalkan tanpa pemilik pada 1949, lalu diurus oleh pengurus baru sejak Februari 1949 sampai September 1950.

Pengurus baru itu adalah anggota Parindra yang sudah kembali ke Surabaya, karena beberapa pengurus lama GNI masih berada di pengungsian. Fungsinya pendopo tetap menjadi balai pertemuan umum dengan prioritas untuk persidangan dan pertunjukan kesenian.

Pengurus baru GNI memiliki program mendirikan asrama mahasiswa. Tanah yang digunakan adalah tanah milik Kota Besar Surabaya yang ada di sekitar Kalibokor. Pada 1965, GNI mengalami renovasi. Hal itu berdasarkan kehendak Ir Soekarno selaku presiden untuk mengapresiasi almarhum Dr. Soetomo.

Sejak 20 Maret 1945, pendopo GNI diperbaiki dan diarsiteki oleh Ir. R. Soendjasmono dengan biaya Rp 36.000.000,00. Tak lama kemudian, pengelolaan GNI beserta harta kekayaannya diambil alih oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Penetapan itu diresmikan pada 20 Mei 1965 pukul 08.00, dengan didahului ziarah ke makam Dr. Soetomo yang juga berada di GNI. Pada 1990, gedung ini pernah menjadi lokasi syuting film Indonesia berjudul Surabaya’45.

Gedung Nasional Indonesia yang berada di Surabaya ini memang memiliki sejarah yang begitu panjang. Hal itu pula tidak terlepas dari perjuangan Dr. Soetomo dan pendiri GNI lainnya.

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya