Dosen Unair Wakili Indonesia pada Kegiatan Triangle Sci di Amerika Serikat

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Rizky Amelia Zein menuturkan, saat ini kondisi yang dialami oleh para ilmuan di bagian Selatan cukup tidak adil.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 23 Okt 2019, 11:59 WIB
Diterbitkan 23 Okt 2019, 11:59 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Amel (tengah) berfoto bersama anggota tim diskusinya ketika mengikuti kegiatan Triangle Sci. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Rizky Amelia Zein, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) menjadi satu-satunya delegasi dari Indonesia yang mengikuti kegiatan Triangle Sci pada Minggu, 13 Oktober 2019-Kamis 17 Oktober 2019 di Chapel Hill, North Carolina, Amerika Serikat.

Pada 2019, tema yang dipilih adalah keadilan pada komunikasi kesarjanaan. Hal ini terkait dengan ketidakseimbangan atau ketidakadilan yang terjadi di komunikasi kesarjanaan.

Triangle Sci merupakan organisasi yang didirikan oleh tiga perpustakaan dari tiga universitas yang berada pada satu area. Yaitu, Duke University, University of North Carolina, dan North Carolina State University.

"Dalam acara ini, kami berdiskusi terkait cara agar ilmu pengetahuan bisa mengakomodasi semua konteks dan semua orang. Karena jika selama ini para ilmuan dari daerah bagian Selatan seperti kita tidak terdengar suaranya, kami berdiskusi bagaimana cara agar suara kami bisa terdengar di dunia global," ujar dosen yang akrab disapa Amel tersebut, Selasa, 22 Oktober 2019.

Selama kegiatan, Amel tergabung pada tim yang berfokus untuk membahas strategi agar proses peer review jurnal menjadi lebih adil, wajar, dan lebih ramah. Tujuannya adalah untuk menghilangkan diskriminasi terhadap ilmuan dari daerah bagian Selatan.

Amel menuturkan, saat ini kondisi yang dialami oleh para ilmuan di bagian Selatan cukup tidak adil. Para ilmuan dipaksa untuk bersaing dengan situasi yang sangat timpang.

Ketimpangan tersebut terlihat pada sumber daya yang dimiliki ilmuan dari Barat jauh lebih bagus dengan yang dimiliki ilmuan di Selatan. Dari segi mentoring yang dimiliki oleh ilmuan dari Barat pun juga jauh lebih baik dari yang ada di bagian Selatan. Bahkan, belum tentu ilmuan dari Selatan memiliki mentoring seperti yang ada di Barat.

"Pada diskusi tersebut, kami mengidentifikasi sebenarnya ketimpangan terjadi pada bagian apa dan bagaimana strategi untuk mengatasi ketimpangan tersebut,” lanjutnya.

Tidak hanya berhenti pada hasil diskusi, tim Amel juga berencana untuk mengajukan dana bantuan guna melakukan kegiatan community outreach sebagai tindak lanjut jangka panjang dari strategi yang telah dihasilkan.

 

 

*** Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Refleksi Ulang Tujuan Perguruan Tinggi

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Amel (tengah) berfoto bersama anggota tim diskusinya ketika mengikuti kegiatan Triangle Sci. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Salah satu hal yang paling berkesan sekaligus miris bagi Amel saat mengikuti kegiatan di Chapel Hill adalah bagaimana kondisi universitas yang ada di sana.

"Saya jujur merasa takjub sekaligus miris ketika mengunjungi Duke University. Meskipun bukan masuk pada Ivy League, namun universitas tersebut cukup prestige di sana. Dan fasilitas yang ada disana jauh berkali kali lipat lebih baik dari di Indonesia,” ucap Amel.

Amel menuturkan, hal yang menarik adalah kenyataan bahwa universitas yang ada di Indonesia dituntut untuk berkompetisi dengan universitas sekelas Duke University, Havard, Stanford atau universitas dunia yang lain. Sementara, jika dilihat dari sumber daya yang ada Indonesia masih jauh dari universitas tersebut.

Amel menambahkan, sebaiknya Indonesia bisa melakukan definisi ulang terkait universitas seperti apa yang dibutuhkan oleh Indonesia. Dampak seperti apa yang perlu dihasilkan oleh universitas untuk bisa berkontribusi kepada masyarkat Indonesia. Karena apabila menggunakan tolak ukur yang sama dengan universitas kelas dunia, maka jelas kebutuhan masyarakat dan kondisi di Indonesia dan disana berbeda.

“Saat ini perguruan tinggi dituntut untuk mengejar ranking universitas dunia. Namun, perlu direfleksi ulang apakah kompetisi tersebut sudah adil dan benar untuk dilakukan? Atau ada hal yang lebih substansial yang bisa dilakukan bersama selain mengejar ranking dunia,” pungkasnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya