Perjalanan Pulpen Impor Merek Palsu dari Cina Berakhir di Surabaya

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyita satu kontainer pulpen merek palsu asal Cina yang dikirim melalui angkutan laut di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

oleh Liputan Enam diperbarui 09 Jan 2020, 17:16 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2020, 17:16 WIB
Ilustrasi pulpen (iStock)
Ilustrasi pulpen (iStock)

Liputan6.com, Surabaya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyita satu kontainer pulpen merek palsu asal Cina yang dikirim melalui angkutan laut di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Barang impor tiruan itu berisi 858.240 buah pulpen senilai lebih dari Rp 1 miliar.

Pengirim pulpen tiruan merek Standard AE7 adalah PT PAM dari Cina. Hak kekayaan intelektual (HKI) pulpen itu berasal dari Indonesia yang dimiliki oleh PT Standarpen Industries.

“Keberhasilan ungkap kasus barang impor tiruan ini tidak lepas dari kerja sama pemilik atau pemegang merek yang telah melakukan perekamanan atau rekordasi dalam sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI yang telah diimplementasikan oleh Bea Cukai sejak 21 Juni 2018,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Heru Pambudi, seperti yang dikutip dari Antara, di Surabaya, Kamis (9/1/2020).

Saat ini sudah ada tujuh merek dan dua hak cipta yang telah tercatat dalam sistem ini, salah satunya dari PT Standardpen Industries.

Heru bercerita, ketika menemukan satu kontainer pulpen tiruan ini, bea cukai mengirim notifikasi kepada PT Standardpen Industries. Lalu perusahaan itu mengonfirmasi untuk melakukan penangguhan sementara melalui pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Surabaya.

Menurut Heru, ungkap kasus barang impor tiruan atau merek palsu ini merupakan yang pertama sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2017, menyusul diberlakukannya Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2006, sebagai revisi dari UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.  Sejak diterbitkan PP Nomor 20 Tahun 2017, perangkat hukum kepabeanan dengan sistem "border measure" HKI semakin lengkap, diperkuat oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.04/2018 sampai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 06 Tahun 2019. Oleh karena itu, pengawasan dan penindakan HKI lebih optimal karena Bea Cukai, Mahkamah Agung, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual serta Pengadilan Niaga telah terintegrasi. Sistem ini memangkas waktu dan jalur birokrasi lintas kementerian atau lembaga.

“Penindakan atas barang impor yang melanggar HKI sangat penting dalam melindungi industri dalam negeri, terutama pemilik atau pemegang merek atau hak cipta maupun industri kreatif dalam negeri agar dapat tumbuh dan memliki daya saing sehingga dapat berkontribusi kepada negara melalui pembayaran pajak,” ucap Heru.

Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Nursyam menuturkan setelah resmi ditangguhkan hari ini, pemilik atau pemegang merek selanjutnya dapat meningkatkan proses hukum. Ada dua alternatif yang bisa dipilih, yakni pidana atau perdata.

Jika menempuh jalur pidana, pelaku bisa dijerat Pasal 99 UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya