Liputan6.com, Jakarta - Penetapan tarif layanan interkoneksi yang baru sebesar Rp 204 dari sebelumnya Rp 250, dinilai tak sah. Pasalnya, pemerintah tak transparan dalam mengungkap formula perhitungan biayanya.
Ditemui tim Tekno Liputan6.com di Jakarta, Kamis (18/8/2016), Ridwan Effendi, Sekjen Kajian Telekomunikasi di ITB mengatakan demikian setelah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Dalam pasal 23 Ayat 2 di peraturan tersebut, perhitungan biaya interkoneksi harus transparan, serta disepakati bersama dan adil. Untuk menentukan tarif, pemerintah memakai formula yang berdasarkan biaya (cost based).
"Dalam hal ini, tanggung jawab pemerintah adalah menyediakan formula perhitungan, verifikasi, dan validasi atas input operator," ujar Ridwan.
Baca Juga
Yang terjadi, pemerintah justru menetapkan tarif interkoneksi tanpa kesepakatan bersama antaroperator. Adapun Telkomsel mengambil sikap oposisi terhadap tarif baru ini.
"Jika dibilang pemerintah ingin output-nya (tarif interkoneksi) Rp 200, pemerintah tak bisa menetapkan harga," tutur mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini.
Seharusnya, pihak operator yang menetapkan sesuai kesepakatan bersama dengan mengacu pada Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI). Sebab, setiap operator memiliki coverage jaringan wilayah berbeda-beda.
Pada kesempatan itu, Pakar Telekomunikasi ITB, Ian Josef M, menambahkan bahwa pemerintah juga seharusnya berperan dalam memvalidasi data-data operator, seperti pencapaian pembangunan BTS, sebagai acuan dalam menetapkan Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI).
"Yang sekarang (penetapannya) tak sah karena tidak disepakati bersama. Pemerintah bisa kena sanksi di PTUN, sehingga aturannya bisa dibatalkan."
(Cas/Why)