Mencengangkan, Hacker Bobol Rp 2.390 Triliun Sepanjang 2017

Menurut laporan Norton Cyber Security Insights 2017 yang dirilis Norton by Symantec, celah hacker bisa mencuri uang tersebut diakibatkan oleh perilaku pengguna internet karena merasa yakin aman saat online.

oleh Jeko I. R. diperbarui 27 Apr 2018, 14:00 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2018, 14:00 WIB
Hacker
Ilustrasi Hacker (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang 2017, hacker dilaporkan mampu mencuri uang sebesar US$ 172 miliar atau setara dengan Rp 2.390 triliun dari 978 juta konsumen di 20 negara.

Menurut laporan Norton Cyber Security Insights 2017 yang dirilis Norton by Symantec, celah hacker bisa mencuri uang tersebut diakibatkan oleh perilaku pengguna internet karena merasa yakin aman saat beraktivitas online.

Dalam keterangan tertulis Norton by Symantec yang diterima Tekno Liputan6.com pada Jumat(27/4/2018), secara global korban kejahatan siber memiliki karakteristik yang sama.

Mereka merupakan pengguna yang sehari-hari memakai banyak perangkat, tetapi tidak memiliki pengetahuan mendasar soal dasar keamanan siber.

"Para korban ini cenderung menggunakan kata sandi yang sama untuk beberapa akun atau membagikan kata sandi itu dengan orang lain," tulis Norton by Symantec.

Selain itu, 39 persen korban juga berasal dari kejahatan siber global. Meskipun pernah menjadi korban hacker, mereka masih merasa percaya diri akan kemampuan untuk melindungi data dan informasi pribadi mereka dari serangan lain di masa depan.

Sementara, 33 persen percaya bahwa mereka memiliki risiko yang kecil untuk menjadi korban kejahatan siber.

Dalam laporan Internet Security Threat Reports (ISTR) ke-23 , belum lama ini mengungkap kalau profatabilitas ransomware pada 2016 menjadikannya sebagai pasar yang menarik dengan permintaan tebusan yang terlalu mahal.

Namun pada 2017, pasar ransomware justru berubah dengan lebih sedikit jenis ransomware dan permintaan tebusan yang lebih rendah.

Sementara, ancaman di ranah mobile malah tumbuh dari tahun ke tahun. Ambil contoh pada 2017, rata-rata 24.000 aplikasi mobile berisiko diblokir setiap hari.

Norton by Symantec juga mengklaim, kejahatan siber bermotif finansial memang sering terjadi di Indonesia. Adapun motif yang dilakukan berupa ransomware, penipuan bank, dan serangan spear phishing di industri jasa keuangan.

Menurut ISTR, tampaknya terjadi peningkatan dari sebesar 1,29 persen pada 2016 menjadi 1,67 persen pada 2017 dalam jumlah malware, spam, host phising, bot, serangan jaringan, ransomware, dan cryptominer.

"Tindakan konsumen mengungkapkan suatu kejanggalan yang berbahaya: Meskipun terjadi gelombang rentetan kejahatan siber yang stabil yang dilaporkan oleh media, terlalu banyak orang tampaknya merasa kebal dan tidak mengambil tindakan pencegahan dasar untuk melindungi diri mereka sendiri,” ujar Chee Choon Hong, Director, Asia Consumer Business, Symantec.

Perilaku Orang Indonesia

Hacker
Ilustrasi Hacker (iStockPhoto)

Pengguna juga disurvei dengan teknologi perlindungan perangkat seperti ID sidik jari, pencocokan pola dan pengenalan wajah, di mana 40 persen menggunakan ID sidik jari, 34 persen menggunakan pencocokan pola, 23 persen menggunakan VPN pribadi, 10 persen menggunakan ID suara.

Sementara, 18 persen menggunakan otentikasi dua faktor, dan 15 persen menggunakan pengenalan wajah.

Namun, konsumen yang mengadopsi teknologi-teknologi tersebut masih kerap menggunakan password yang lemah dan menjadi korban kejahatan siber.

Pengguna Indonesia juga menyatakan percaya diri, tetapi mereka lebih rentan terhadap serangan karena mereka melindungi banyak perangkat dan layanan yang lebih baru.

Sebanyak 9 persen orang Indonesia yang disurvei yang menjadi korban kejahatan siber memiliki perangkat pintar untuk mengakses konten daring atau streaming, dibandingkan dengan sekitar 91 persen yang bukan merupakan korban. Mereka juga tiga kali lebih mungkin untuk memiliki perangkat rumah yang terhubung.

Meskipun mengalami tindak kejahatan siber dalam satu tahun terakhir, 20 persen korban yang disurvei menggunakan password online yang sama untuk beberapa akun dan 58 persen berbagi kata sandi mereka, setidaknya untuk satu perangkat atau satu akun kepada orang lain sehingga meniadakan upaya keamanan.

Sebagai perbandingan, hanya 16 persen responden yang bukan merupakan korban kejahatan siber yang menggunakan kembali kata sandi mereka dan 33 persen berbagi kata sandi dengan orang lain.

Selain itu, 34 persen responden menulis kata sandi mereka di selembar kertas dan 19 persen menggunakan kata sandi yang berbeda dan menyimpan kata sandi tersebut ke dalam file di komputer atau smartphone mereka dibandingkan dengan 12 persen responden yang bukan korban yang juga melakukan hal yang sama.

Kondisi Kepercayaan Pengguna

Hacker
Ilustrasi Hacker (iStockPhoto)

Terlepas dari serangan-serangan siber yang terjadi tahun ini, orang Indonesia pada umumnya terus memercayai lembaga yang mengelola data dan informasi pribadi mereka. Namun, mereka tidak mempercayai beberapa lembaga dan organisasi. Berikut beberapa temuan terbaru:

  • Survei menemukan bahwa konsumen memberi atau mempertahankan kepercayaan pada organisasi-organisasi seperti bank dan lembaga keuangan (43 persen), dan penyedia layanan perlindungan pencurian identitas (34 persen) meskipun terjadi serangan-serangan atas organisasi-organisasi tersebut yang menjadi berita utama tahun ini.
  • Sebanyak 20 persen responden kehilangan kepercayaan pada platform media sosial.
  • Survei juga menemukan bahwa lebih dari separuh (53 persen) korban kejahatan siber di Indonesia merasa percaya diri pada kemampuan mereka untuk mengelola data dan informasi pribadi mereka sendiri.

(Jek/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya