Liputan6.com, Jakarta - Badan Kepegawaian Nasional (BKN) baru-baru ini telah mengeluarkan edaran yang berisi ujaran-ujaran di media sosial (medsos) yang bisa berujung pada hukuman sedang dan berat.
Dalam edaran tersebut, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tidak diperbolehkan menyampaikan ujaran kebencian terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, tidak diperbolehkan juga melakukan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta Pemerintah.Â
Ujaran-ujaran tersebut tidak boleh dikemukakan baik secara langsung di depan umum, maupun via medsos.
Tidak hanya itu, bila ada PNS dan CPNS juga bisa dihukum bila memberi dukungan terhadap hal-hal yang dilarang via medsos dengan cara like, love, comment, maupun regram.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana juga meminta PNS agar bijaksana di medsos, serta peka pada hal-hal yang berpotensi memunculkan konflik.
Namun, sebelum adanya edaran tersebut, ternyata sudah ada kasus-kasus PNS yang tersandung masalah karena tindakan mereka di medsos. Berikut tiga kasus PNS berkaitan dengan medsos yang dihimpun Liputan6.com.
1. Menyebut Terorisme Hanya Drama
Kasus pertama adalah dari seorang Kepala Sekolah (Kepsek) di SMP yang berlokasi Kabupaten Payoung Utara, Kalimantan Barat (Kalbar).
Ketika ada kasus ledakan bom Surabaya, wanita berinisial FSA (37) menyebut tragedi itu memiliki agenda-agenda terselebung. Tak lupa, ia juga menghina dengan memakai kata bong (kecebong).
"Sekali mendayung, 2-3 pulau terlampaui. Sekali ngebom:
1. Nama islam dibuat tercoreng.
2. Dana trilyunan program anti teror cair.
3. Isu 2019 ganti presiden tenggelam.
Sadis lu, bong... Rakyat sendiri lu hantam juga. Dosa besar lu..!!!"
FSA juga turut menyebut kejadian tersebut adalah drama yang bertujuan mencairkan anggaran antiteror.Â
"Bukankah terorisnya sudah dipindah ke NK (Nusa Kambangan)? Wah.. Ini pasti program minta tambahan dana anti teror lagi nih? Si*lan banget sih sampe ngorbankan rakyat sendiri? Drama satu kagak laku, mau bikin drama kedua."Â
Berkat aksinya, FSA diproses oleh pihak kepolisian dan dipecat.
Advertisement
2. Terorisme Dianggap Pengalihan Isu
Bila kasus pertama dilakukan seorang guru, kasus ini malah dilakukan oleh dosen.
Seorang dosen Universitas Sumatera Utara (USU) berinisial HD dijemput polisi akibat ucapannya terkait bom Surabaya. Perempuan yang mengajar Ilmu Perpustakaan ini menyebut kasus pengeboman hanyalah pengalihan isu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.Â
Ia menuliskan kata-kata, 'Skenario pengalihan yg sempurna…#2019GantiPresiden.'
Tulisan HD pun menjadi viral dan berujung ke kantor polisi.
"Motif dan tujuan pemilik akun Facebook HD yang dimilikinya tersebut karena terbawa suasana dan emosi di dalam media sosial Facebook dengan maraknya caption atau tulisan #2019GantiPresiden," kata Kabid Humas Polda Sumut, AKBP Tatan Dirsan Atmaja.
Tetapi, pihak USU mengajukan permohonan penangguhan kepada Kapolda Sumut, Irjen Paulus Waterpauw. Surat penangguhan itu meminta status HD diubah menjadi tahanan kota.
"Suratnya sudah disampaikan. Saya juga sudah bicara dengan Pak Kapolda. Kami memohon yang bersangkutan ditangguhan penahannya, karena mengidap penyakit," kata Rektor USU Runtung Sitepu.
Selain mengidap penyakit, HD yang berstatus sebagai Kepala Arsip USU nonaktif juga memiliki anak yang masih kecil-kecil. Mereka, kata Runtung, memerlukan sosok seorang ibu.
3. Dianggap Tidak Netral Akibat 'Like'
Di luar kasus terorisme, ternyata ada juga seorang PNS yang tersandung masalah akibat memberikan 'like' ke sebuah status politik.
Sebagaimana dialami oknum PNS di Kutai Timur (Kutim), dia terpaksa berurusan dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Pria berinisial IL ini diketahui bekerja di salah satu UPTD pendidikan. Ia diduga melakukan pelanggaran tentang kepemiluan.
Padahal, tindakan semacam itu dilarang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sanksinya pun bisa berupa teguran tertulis hingga penurunan pangkat.
''Saat kami klarifikasi, dia sudah mengakui perbuatannya. Dia mengaku memberikan like terhadap postingan paslon,'' ujar Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Panwaslu Kutim Budi Wibowo.
Panwaslu Kutim sedang membidik beberapa PNS yang melakukan pelanggaran serupa dan diharapkan kasus IL bisa menjadi peringatan bagi PNS agar tidak bermain-main dalam urusan netralitas pilkada.
(Tom/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Advertisement