Liputan6.com, Jakarta - Masalah pada baterai membuat MacBook Pro keluaran tahun 2015 ditolak masuk ke bagasi pesawat berbagai maskapai di dunia.
Dalam beberapa kasus, sejumlah maskapai bahkan tidak mengizinkan pengguna untuk menyalakan laptop selama penerbangan, kecuali penumpang bisa menunjukkan bahwa baterai perangkat sudah diganti.
Advertisement
Baca Juga
Mengingat bahwa semua MacBook Pro memiliki desain dan bentuk yang sama, larangan ini justru berlaku ke semua model, bukan hanya model tahun 2015 yang baterainya bermasalah.
Gara-gara masalah MacBook Pro ini, seorang fotografer travel asal Inggris Julian Elliot "terjebak" di Vietnam.
Mengutip laman Ubergizmo, Kamis (2/10/2019), Elliot harus rela terjebak selama dua pekan di Vietnam demi menunggu baterai laptop MacBook Pro edisi 2015 miliknya diganti.
Parahnya, penggantian baterai laptop ini dilakukan di Singapura, sehingga dia harus menunggu perangkatnya dikirim dari Singapura.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Tak Ada Masalah di Penerbangan Sebelumnya
Sekadar informasi, Elliot sebenarnya diundang ke Vietnam untuk memotret negara tersebut atas permintaan sebuah perusahaan perjalanan wisata.
Dia terbang ke sana membawa MacBook Pro dan tidak ada masalah dengan hal itu selama penerbangan.
Namun saat hendak pulang ke negara asalnya, petugas keamanan di bandara melarang Elliot untuk terbang, yang menyebut laptop MacBook Pro miliknya jadi alasannya.
"Pada awalnya, mereka mengatakan jangan menyalakan laptop selama penerbangan. Namun kemudian petugas keamanan memutuskan saya tidak boleh menaiki pesawat (dengan memabwa MacBook Pro)," kata Elliot.
Advertisement
Minim Informasi dari Maskapai
Para petugas keamanan meminta Elliot untuk meninggalkan laptop miliknya, tetapi karena ia membutuhkan untuk keperluan kerja, dia tidak meninggalkan laptop tersebut.
Dia juga mengatakan, maskapai seharusnya mengomunikasikan informasi larangan membawa laptop MacBook Pro dengan lebih baik ke para penumpang.
"Para penumpang jadi bertanya-tanya apakah maskapai menganggap hal ini sangat penting. Mereka seharusnya mengomunikasikan hal itu kepada semua penumpang yang hendak bepergian. Namun, hal ini tidak dilakukan sebelum perjalanan saya, apalagi dua penerbangan saya sebelumnya dianggap aman untuk terbang," ujar Elliot.
(Tin/Why)