Siswa Magang di NASA Berhasil Temukan Planet Baru

Seorang siswa yang magang di NASA dilaporkan telah berhasil menemukan planet baru dan jarang diketahui.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 11 Jan 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2020, 17:00 WIB
Ilustrasi planet.
Ilustrasi planet. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Seorang siswa yang sedang magang di NASA dilaporkan telah berhasil menemukan sebuah planet baru. Remaja bernama Wolf Cukier itu tidak sengaja menemukan planet baru saat sedang melakukan tugas yang diberikan.

Dikutip dari The Guardian, Sabtu (11/1/2020), Cukier saat itu sedang diberi tugas untuk mempelajari proses dua bintang yang saling melintas dapat menciptakan gerhana.

Menurut penuturannya, dia sedang fokus mengamati tata surya TOI 1338. Ketika melakukan pengamatan, dia melihat ada dua bintang yang menghalangi cahaya dan melaporkannya.

Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut selama beberapa minggu, pengawas Cukier mengatakan dia telah menemukan planet yang memiliki ukuran 6,9 kali lebih besar dari Bumi.

NASA menuturkan, saat ini hanya ada 13 planet yang pernah ditemukan dengan karakteristik serupa.

"Kira-kira saat magang di hari ketiga, saya melihat sinyal dari sistem bernama TOI 1338. Awalnya, saya pikir itu merupakan gerhana bintang, tapi waktunya tidak tepat. Ternyata itu, sebuah planet," tutur Cukier menceritakan pengalamannya.

Planet yang baru ditemukan itu lantas diberi nama TOI 1338 b. Riset mengenai planet itu pun telah dipresentasikan saat pertemuan American Astronomical Society 235 di Honolulu, Amerika Serikat.

Dalam penulisannya, NASA menuturkan, Cukier dibantu oleh ilmuwan lain yang lebih senior. Usai temuan ini, Cukier pun berharap dapat menjadi permulaan karirnya di dunia antariksa.

Misi ESA untuk Lindungi Bumi dari Asteroid Dapat Lampu Hijau

[Bintang] Gokil! NASA Bentuk Tim Khusus untuk Cegah Kiamat
Ilustrasi asteroid mendekati Bumi. (Via: telegraph.co.uk)

Terlepas dari informasi di atas, misi bernama Hera yang digagas European Space Agency (ESA) akhirnya mendapat persetujuan untuk dilanjutkan. Persetujuan ini diberikan para menteri Uni Eropa yang bertanggung jawab dengan urusan ESA. 

Perlu diketahui, Hera merupakan misi kerja sama antara ESA dengan NASA. Adapun Hera merupakan kepanjangan dari Human Exploration Research Analog. 

Dikutip dari Engadget, Kamis (5/12/2019), lewat misi ini, ESA dan NASA berupaya membuat sebuah sistem yang dapat mencegah sebuah asteroid menubruk Bumi dan membahayakan manusia.

Secara garis besar, untuk melakukan hal tersebut, ESA dan NASA akan menabrakkan pesawat luar angkasa ke sebuah asteroid yang meluncur ke Bumi. Dengan cara itu, orbit asteroid tersebut diharapkan akan menjauh dari Bumi.

Sebagai bagian dari uji coba misi Hera, dua badan antariksa itu akan mencoba mengirimkan sepasang pesawat luar angkasa ke sistem asteroid bernama Didymos.

Lewat rencana ini, ESA dan NASA akan meluncurkan roket riset untuk menjangkau asteroid dengan ukuran lebih kecil, yakni Didymoon. Setelahnya, mereka akan memetakan dampak dan massa asteroid tersebut.

Lalu, para ilmuwan akan mengolah data tersebut untuk mengetahui komposisi penyusunnya. Dengan begitu, mereka dapat mempelajari dan memanfaatkannya sebagai teknik defleksi asteroid sebagai bentuk pertahanan Bumi.

Untuk diketahui, tubrukan asteroid ke Bumi memang terbilang jarang, sehingga sebenarnya dapat dicegah, berbeda dari gempa bumi atau ledakan gunung berapi. Namun jumlah objek luar angkasa yang dekat dengan Bumi terbilang banyak, mencapai ribuan.

Lindungi Bumi: Menabrakkan Pesawat Ruang Angkasa ke Asteroid

Ilustrasi Asteroid
Ilustrasi artis tentang asteroid yang berpotensi berbahaya menuju Bumi. (Kredit: ESA)

Untuk diketahui, proyek bersama yang disebut Asteroid Impact and Deflection Assessment (AIDA) itu digagas European Space Agency (ESA) dan NASA, yang diumumkan pada 2015. Namun, temuan terbaru dari misi-misi asteroid belakangan ini mungkin memiliki implikasi untuk pengujian tabrakan.

Sebagai contoh, ketika Hayabusa2 membom asteroid Ryugu pada April 2019, wahana ini menciptakan kawah yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Selain itu, materi di permukaan asteroid sangat mirip pasir di Bumi; yang dapat memengaruhi efektivitas defleksi (penyimpangan arah) dampak kinetik.

"Pemboman yang dilakukan Hayabusa2 menunjukkan bahwa tidak ada kohesi di permukaan (asteroid) dan regolith yang berperilaku seperti pasir murni. Gravitasi mendominasi proses itu ketimbang kekuatan intrinsik dari bahan pencipta asteroid," jelas ilmuwan planet Patrick Michel dari CNRS.

Regolith adalah lapisan endapan superfisial longgar, heterogen yang menutupi batuan padat. Ini termasuk debu, tanah, pecahan batu, dan material terkait lainnya yang ada di Bumi, Bulan, Mars, asteroid, serta planet dan Bulan terestrial lainnya.

"Jika gravitasi juga dominan di Didymos B, meskipun jauh lebih kecil, tabrakan kita bisa berakhir dengan kawah yang jauh lebih besar daripada percobaan berbasis laboratorium," lanjutnya.

Mengikuti lokakarya AIDA pada minggu lalu di Roma, para ilmuwan telah bertemu di EPS-DPS Joint Meeting 2019 di Jenewa untuk membahas proyek itu lebih lanjut.

"Hari ini, kami adalah manusia pertama dalam sejarah yang memiliki teknologi yang berpotensi membelokkan asteroid agar tidak berdampak ke Bumi," ujar astronom Ian Carnelli dari ESA kepada Technology Review, yang dikutip dari Science Alert, Jumat (20/9/2019).

Sekadar informasi, wahana antariksa yang akan dihempaskan ke asteroid ini adalah Double Asteroid Redirection Test (DART) milik NASA.

(Dam/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya