Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menanggapi adanya petisi yang isinya menolak Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 tentang pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) ke Kominfo.
"Boleh saja, itu demokrasi," kata Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Senin (19/7/2022).
Baca Juga
"Ini kan prosesnya sudah panjang. Undang-Undangnya juga Undang-Undang ITE, kita tidak keluar dari itu," kata Semuel dalam konferensi pers yang digelar di kantor Kominfo, Jakarta.
Advertisement
Semuel mengatakan, kementerian juga menghormati ada masyarakat yang menolak karena itu adalah hak mereka. "Kan kita juga harus berpikir ini ada 210 juta masyarakat Indonesia yang perlu dilindungi," imbuhnya.
Dalam kesempatan tersebut, Semuel juga menegaskan bahwa pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) tidak bertujuan untuk mengendalikan platform digital.
Semuel menyebut pendaftaran PSE ini dilakukan agar pemerintah mengetahui siapa saja pelaku usaha platform digital yang beroperasi secara digital di Indonesia.
"Supaya kami tahu apa layanan yang diberikan, bagaimana kalau ada masalah, pedomannya harus berbahasa Indonesia supaya masyarakat mengerti, banyak hal yang harus dipatuhi," kata Semuel.
Selain itu, pelaku usaha yang berbisnis di Indonesia, termasuk yang tidak berdomisili di Tanah Air, juga harus patuh terhadap pajak. "Kalau dikaitkan dengan pengendalian ini lain lagi, ini benar-benar pendataan. Pengendalian sudah ada aturannya," kata Semuel.
"Saya rasa ini bukan hanya Indonesia, semua negara punya metodenya masing-masing dan kita modelnya adalah pendaftaran. Jadi saya rasa tidak ada kaitannya (dengan pengendalian), karena ini benar-benar tentang pendataan," ujar Dirjen Kominfo itu.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tata Kelola Bukan Pengendalian
Menurut Semuel, apabila platform digital tidak melakukan pendaftaran, maka mereka sendiri yang akan rugi karena mereka dinilai "tidak melihat Indonesia sebagai potential market mereka."
Selain itu, Semuel juga menyebut masih ada alternatif platform lain apabila sebuah PSE tidak melakukan pendaftaran, serta membuka kesempatan anak bangsa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Intinya kita tegas. Ini adalah regulasi yang ada, ini adalah tata kelola, bukan pengendalian. Supaya kita tahu siapa saja yang beroperasi di Indonesia dan apa yang mereka operasikan," tegas Semuel.
Sebelumnya sebuah petisi dengan judul Surat Protes Netizen Indonesia Menolak Permenkominfo 5/2020 dan amandemen Permenkominfo 10/2021, yang menolak pendaftaran PSE dan diinisiasi SAFEnet.
Pakar sekaligus konsultan keamanan siber, Teguh Aprianto, menganalisis alasan mengapa sejumlah PSE besar belum mendaftarkan platform mereka. Menurutnya, jika perusahaan mendaftar, mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri.
"Jika platform ini (Google, Facebook, hingga Twitter) ikut mendaftar, maka mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri dan privasi kita sebagai pengguna juga akan terancam," tulis Teguh seperti dikutip dari akun Twitter-nya @secgron, Minggu (17/7/2022).
Lebih lanjut ia menuliskan, dalam Permen Kemkominfo Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat, setidaknya ada tiga pasal yang bermasalah.
Teguh menuliskan, pasal pertama yang menjadi sorotan adalah Pasal 9 ayat 3 dan 4 mengenai kewajiban PSE untuk memastikan sistem elektroniknya tidak memuat informasi dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.
Â
Advertisement
Pasal yang Dianggap Bermasalah
Sementara salah satu poin informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang adalah meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
"Pasal 9 ayat 3 dan 4 ini terlalu berbahaya karena 'meresahkan masyarakat' & 'mengganggu ketertiban umum' ini karet banget," tulisnya menjelaskan.
Ia menuliskan, "Nantinya bisa digunakan untuk 'mematikan' kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab 'mengganggu ketertiban umum'."
Lalu, pasal lain yang juga dianggap bermasalah adalah pasal 14 ayat 3 mengenai permohonan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. Pasal ini kembali memunculkan term 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum'.
"Di bagian ini nantinya mereka seenak jidatnya bisa membatasi kebebasan berekspresi dan juga berpendapat. Kok konten saya ditakedown? Mereka tinggal jawab 'meresahkan masyarakat'," tulis Teguh.
Pasal lain yang dianggap bermasalah adalah Pasal 36 yang berbunyi, 'PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Lalu Lintas dan Informasi Pengguna Sistem Elektronik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada Narahubung PSE Lingkup Privat'.
"Apa jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Ga ada kan?" tulisnya.
Â
Jawaban Kominfo Soal Pasal Karet
Dalam konferensi persnya Senin, Semuel pun menjelaskan soal kekhawatiran publik terkait keberadaan tiga pasal yang dianggap rentan jadi "pasal karet" dalam Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020.
"Terkait pelanggaran atau penegakkan hukum, itu bukan hanya di Indonesia, semua seperti itu ada prosesnya. Biasanya kita minta data dulu," kata Kominfo.
Terkait permintaan untuk mengakses sistem, Kemkominfo mengklaim, hal ini dilakukan apabila ada kejahatan yang memang dilakukan oleh pihak perusahaan itu sendiri.
"Binomo, DNA Robot contohnya. Aparat harus bisa masuk ke sistemnya, karena secara sistem mereka melakukan kejahatan. Atau kalau ada fintech yang nakal, tiba-tiba uang pelanggan hilang sedikit-sedikit," kata Semuel.
Sementara terkait konten, Semuel menegaskan sudah ada aturan soal ini. Menurutnya, platform juga sudah memiliki tata kelola dalam hal ini. Kemkominfo pun juga tidak sembarang melakukan pemblokiran.
"Terkait konten yang mengganggu ketertiban umum, contohnya tentang agama, kan sampai ramai juga. Setelah kejadiannya baru kita minta 'tolong di-stop' karena sudah mengganggu," kata Semuel.
"Tidak mungkin kita melakukan sebelumnya. Harus benar-benar terjadi kehebohan di masyarakat, dan salah satu untuk meredam adalah melakukan pemblokiran (konten). Bukan kita tidak ada apa-apa minta di-takedown," tegas Semuel.
(Dio/Ysl)
Advertisement