Liputan6.com, Jakarta - Penelitian terbaru yang dilakukan Chalmers University of Technology di Swedia telah menggali bagaimana sikap mahasiswa terhadap alat-alat kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI), seperti ChatGPT.Â
Ia merupakan penelitian skala besar pertama di Eropa yang menjelajahi persepsi mahasiswa terhadap peran AI dalam pendidikan tinggi.
Baca Juga
Survei ini mendapatkan respons luar biasa, dengan hampir 6.000 mahasiswa aktif berpartisipasi dan menuliskan lebih dari dua ribu komentar opsional. Pendapat mereka bervariasi mulai dari ketakutan dan ketidakpastian hingga optimisme dan antusiasme terhadap potensi AI untuk masa depan pembelajaran.
Advertisement
Hans Malmström, seorang profesor di Department of Communication and Learning in Science, menggambarkan ungkapan mahasiswa sebagai kuat, beragam, dan penuh emosi. Ia, bersama dengan rekan-rekannya Christian Stöhr dan Amy Wanyu Ou, memimpin upaya penelitian komprehensif ini.
Sebagian besar responden mengakui bahwa alat-alat bahasa AI, termasuk ChatGPT yang populer, telah meningkatkan efisiensi mereka sebagai mahasiswa.
Mahasiswa menekankan bahwa alat-alat tersebut telah meningkatkan kemampuan menulis akademik dan kemampuan bahasa mereka secara keseluruhan. Menariknya, hampir semua peserta akrab dengan ChatGPT, dengan 35 persen dari mereka menggunakan chatbot tersebut secara teratur.
Meskipun memiliki sikap yang mendukung terhadap AI, banyak mahasiswa merasa cemas karena kurangnya panduan yang jelas tentang bagaimana mengintegrasikan AI secara efektif ke dalam lingkungan pembelajaran mereka. Menentukan batasan penipuan tetap menjadi kekhawatiran yang signifikan bagi mereka.
Malmström menekankan fakta bahwa sebagian besar mahasiswa tidak mengetahui adanya aturan atau panduan mengenai penggunaan AI yang bertanggung jawab di lembaga pendidikan mereka.
Meskipun kesenjangan pengetahuan ini menimbulkan kekhawatiran, sebagian besar responden menentang pelarangan total terhadap alat-alat kecerdasan buatan dalam konteks pendidikan.
Â
Chatbot sebagai bantuan pelengkap
Secara umum, mahasiswa melihat chatbot sebagai mentor atau guru yang dapat memberikan bantuan, penjelasan, dan ringkasan. Mereka percaya bahwa chatbot harus berfungsi sebagai bantuan yang melengkapi kemampuan berpikir kritis mereka daripada menggantikannya.
Salah satu mahasiswa mengungkapkannya dengan singkat, yang menyatakan, "Anda seharusnya bisa melakukan hal yang sama seperti AI, dan AI dapat membantu Anda melakukannya. Anda tidak boleh menggunakan kalkulator, jika Anda tidak tahu apa arti tanda tambah di dalamnya."
Survei ini juga mengungkapkan aspek penting dari dampak AI pada individu dengan disabilitas. Banyak mahasiswa dengan kondisi seperti ADHD dan disleksia menyoroti bagaimana alat-alat AI berfungsi sebagai bantuan yang efektif, memungkinkan mereka untuk mengatasi tantangan mereka. Salah satu mahasiswa menggambarkannya sebagai "seperti menjadi buta warna dan tiba-tiba bisa melihat semua warna indah".
Â
Advertisement
Temuan
Para peneliti telah mengompilasikan temuan survei ini menjadi laporan ringkasan, dengan tujuan memberikan suara kepada mahasiswa dan berkontribusi pada pemahaman kolektif yang lebih baik tentang AI dan hubungannya dengan pembelajaran. Christian Stöhr, seorang profesor terkait di Department of Communication and Learning in Science, menyatakan harapannya bahwa hasil ini akan menjadi kontribusi signifikan bagi bidang ini.
Survei yang berjudul "Chatbots and other AI for learning: A survey on use and views among university students in Sweden" dilakukan antara 5 April dan 5 Mei 2023. Survei ini melibatkan partisipasi dari mahasiswa di semua universitas di Swedia, berkat upaya yang ditargetkan oleh berbagai lembaga pendidikan dan organisasi mahasiswa. Sebanyak 5.894 mahasiswa memberikan tanggapan yang berharga.
Temuan kunci dari survei ini mencakup: 95 persen mahasiswa akrab dengan ChatGPT, sementara kesadaran akan chatbot lainnya relatif rendah. Lebih dari setengah mahasiswa menyatakan sikap positif terhadap penggunaan chatbot dalam studi mereka, dengan 35 persen secara aktif menggunakan ChatGPT.
Temuan Lain
Lalu, 60 persen menentang pelarangan terhadap chatbot, dan bahkan lebih banyak lagi (77 persen) menentang pembatasan alat AI lainnya seperti Grammarly dalam pendidikan.
Mencengangkan, lebih dari setengah mahasiswa tidak yakin apakah lembaga mereka memiliki panduan penggunaan AI, sementara seperempat mengkonfirmasi ketiadaan regulasi apa pun. Selain itu, 62 persen peserta survei percaya bahwa menggunakan chatbot selama ujian dianggap sebagai bentuk penipuan.
Temuan survei ini tidak hanya memberikan gambaran tentang persepsi mahasiswa terhadap AI, tetapi juga menimbulkan keprihatinan yang lebih luas tentang masa depan pendidikan. Beberapa mahasiswa mengungkapkan kekhawatiran tentang implikasi pengembangan AI dan dampak potensialnya pada metode pembelajaran tradisional. Namun, sentimen keseluruhan cenderung untuk mengadopsi AI sebagai alat berharga yang dapat merevolusi lanskap pendidikan.
Para peneliti menekankan peran penting AI dalam mendukung mahasiswa dengan disabilitas. Mahasiswa dengan kondisi seperti ADHD dan disleksia membagikan pengalaman mereka dalam menggunakan alat AI untuk meningkatkan kemampuan menulis dan pemahaman mereka. Bagi mereka, AI bukan hanya alat, tetapi pintu gerbang untuk mengungkap potensi penuh mereka.
Â
Advertisement