Ombudsman Diminta Lakukan Evaluasi terkait Investasi dan Izin Starlink di Indonesia

Pengamat kebijakan publik menilai jumlah investasi Starlink untuk melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup VSAT (JARTUP VSAT) dan ISP, tak masuk akal.

oleh Iskandar diperbarui 14 Jun 2024, 10:30 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2024, 10:30 WIB
CEO Tesla dan Space X Elon Musk dalam peresmian peluncuran Starlink di salah satu puskesmas di Denpasar, Minggu (19/5/2024). (Liputan6/Benedikta Miranti)
CEO Tesla dan Space X Elon Musk dalam peresmian peluncuran Starlink di salah satu puskesmas di Denpasar, Minggu (19/5/2024). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia blak-blakan soal nilai investasi yang ditanamkan Elon Musk bersama layanan internet satelit Starlink.

Dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI, ia mengungkap nilai investasi Starlink tergolong tidak besar, dengan jumlah tenaga kerja hanya tiga orang.

"Starlink ini investasinya menurut data OSS (Online Single Submission) Rp 30 miliar. Tenaga kerja tiga orang yang terdaftar," Bahlil menjelaskan, sebagaimana dikutip dari kanal Bisnis Liputan6.com, Jumat (14/6/2024).

Menyoal pernyataan Menteri Bahlil, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansah, menilai jumlah investasi Starlink untuk melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup VSAT (JARTUP VSAT) dan izin penyelenggara jasa internet (ISP), tak masuk akal.

“Apa iya modal sebesar itu cukup untuk membangun usaha JARTUP VSAT dan ISP? Padahal industri telekomunikasi memiliki karakteristik high CAPEX dan high expenditure. Apakah masuk akal karyawan yang dibutuhkan hanya 3 orang? Menurut pandangan saya. itu sangat tidak mungkin,” ia memaparkan.

Minimnya investasi Starlink membuat Trubus mempertanyakan efektifitas kunjugan Presiden Joko Widodo dan Menteri Luhut ketika bertemu Elon Musk di AS. Terlebih investasi Tesla di Indonesia belum terealisasi.

“Masa investasi Starlink kalah sama pengusaha ISP, dan jumlah karyawannya di Indonesia jauh di bawah ISP kecil yang ada di Indonesia. Kalau hanya untuk menyediakan akses internet di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), Kominfo juga sudah punya satelit SATRIA,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, untuk menggelar layanan telekomunikasi JARTUP VSAT dan izin ISP seperti yang dilakukan Starlink, modal yang dibutuhkan lebih dari Rp 30 miliar.

Selain itu, untuk dapat melayani seluruh wilayah Indonesia, Starlink membutuhkan minimal 9 stasiun bumi yang dijadikan hub. Minimal investasi untuk membangun 1 stasiun bumi seperti yang dimiliki BAKTI Kominfo di proyek SATRIA adalah USD 5 juta atau sekitar Rp 81,7 miliar.

 

Dugaan Maladministrasi

Elon Musk Tiba di Bali
Bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Elon Musk dijadwalkan akan meresmikan layanan internet Starlink saat acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. (SONNY TUMBELAKA/AFP)

Agar dapat beroperasi dan melayani seluruh wilayah di Indonesia, setidaknya Starlink membutuhkan lebih dari tiga Network Operation Center (NOC).

Satu NOC membutuhkan minimal 15 orang tenaga kerja per hari (3 shift). Nilai investasi untuk satu NOC tak kurang dari USD 1 juta (sekitar Rp 16 miliar).

Investasi Rp 30 miliar yang disampaikan Menteri Bahlil, menurut Trubus dapat dilakukan jika NOC dan kantor Starlink menggunakan layanan virtual. Seluruh kendali dilakukan dari kantor pusat mereka.

Padahal Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengharuskan seluruh penyelenggara telekomunikasi, baik itu VSAT maupun ISP memiliki NOC fisik di Indonesia.

Tujuannya agar mempermudah aparat penegak hukum (APH) jika ingin melakukan lawful interception. Selain itu adanya fisik NOC di Indonesia untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat.

"Minimnya modal dan mudahnya izin yang diterima tanpa melihat kewajaran nilai investasi di perusahaan telekomunikasi, membuktikan Kominfo telah mengabaikan prosedur (dugaan kuat maladministrasi)," ujar Trubus.

Ia menambahkan, untuk mendapatkan izin harusnya seluruh pelaku usaha telekomunikasi harus memenuhi kelengkapan administratif dan kecukupan persyaratan seperti yang tertuang diregulasi.

"Kalau kelengkapan dokumen cukup, namun persyaratan tak lengkap harusnya Kominfo tak memberikan izin penyelenggaraan ke Starlink," Trubus menegaskan.

 

Evaluasi Penerbitan Izin Starlink

Internet satelit Starlink
Internet satelit Starlink. Liputan6.com/Iskandar

Agar pemerintahan Presiden Jokowi dan Kominfo kembali mendapatkan kepercayaan publik, Trubus meminta Ombudsman dapat melakukan evaluasi terhadap penerbitan izin Starlink.

Rencana Kominfo akan menerjunkan direktorat pengendalian untuk melakukan pengecekan terhadap kegiatan usaha Starlink, dinilai Trubus tidak cukup.

“Saat ini publik sudah tak percaya sama Kominfo karena berprilaku seperti jubir Starlink. Harusnya investigasi dan evaluasi penerbitan izin Starlink melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Ombudsman, APH, dan asosiasi," katanya.

"Selain itu, Menkominfo tak bisa lepas tangan atas kegaduhan ini. Ia harus bertanggungjawab dan membuktikan kalau pengajuan izin Starlink tak seperti yang dituduhkan,” ucap Trubus menambahkan.

Agar kegaduhan tak terjadi lagi di masa mendatang, pemerintahan selanjutnya yang nanti dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto harus membuat regulasi yang jelas terhadap Non-Geostationary Orbit (NGSO).

"Tak terkecuali aturan mengenai keamanan dan teritorial digital Indonesia. Sebab, nantinya akan banyak model bisnis lain mirip Starlink masuk ke Indonesia," Trubus memungkaskan.

 

 

Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya