Liputan6.com, Jakarta - Para pengendara yang hendak melewati terowongan atau underpass Dukuh Bawah, Jakarta Selatan Sabtu 7 November 2015 tertipu karena terowongan di bawah Jalan Jenderal Sudirman itu ternyata tak bisa dilintasi.
Hal itu dikarenakan underpass tertutup air setinggi 1 meter. Namun ada saja pengendara yang nekat menerjang banjir. Hasilnya, mobil dan motor mereka mogok di tengah genangan air.
Tergenangnya underpass Dukuh Bawah menyusul hujan lebat selama 1 jam yang terjadi sebelumnya. Tersumbatnya saluran dituding sebagai penyebab air tak bisa mengalir lancar hingga terowongan banjir digenangi air.
Advertisement
Sedangkan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, hujan lebat itu menyebabkan Jalan Cikini Raya dan Jalan Pegangsaan Timur tergenang air setinggi hingga 40 cm.
Lalu 2 hari kemudian giliran Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur kebanjiran air luapan Sungai Ciliwung. Banjir tidak terlalu tinggi, tetapi sangat mengganggu warga kawasan langganan banjir ini.
Meluapnya air di underpass Dukuh Bawah dan genangan air di berbagai wilayah Ibukota di awal musim hujan kali ini bolehlah dianggap sebagai alarm bahwa banjir kembali mengancam DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus bekerja lebih keras untuk melawan banjir yang nyaris tiap tahun melanda Ibukota ini.
Kerja keras melawan banjir. Itulah memang yang sedang dilakukan pemerintah dengan berbagai cara. Termasuk dengan menormalisasi Sungai Ciliwung yang air luapannya kerap menggenangi hunian di tepinya.
Maka 20 Agustus 2015, permukiman liar di tepi Sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Jatinegara pun digusur meski ditentang keras oleh warga hingga terjadi bentrokan. Penggusuran di Kampung Pulo pun jalan terus. Rumah-rumah yang berdiri secara ilegal di tepi Sungai Ciliwung itu dirobohkan petugas.
Badan Sungai Ciliwung yang menyempit hingga tinggal 8-20 meter diperlebar hingga 50Â meter agar air mengalir lancar. Kedalaman sungai juga dinormalkan dengan pengerukan.
Upaya lain adalah mengurangi debit air Sungai Ciliwung. Dibuatlah sodetan berupa saluran air 14 meter di bawah permukaan tanah sepanjang 1,2 km untuk mengalirkan air Ciliwung ke Kanal Banjir Timur.
Namun dari 1,2 km panjang sodetan yang direncanakan, baru 571 meter yang sudah selesai dibangun. Sedangkan 700 meter lainnya belum dikerjakan sama sekali.
Hal itu dikarenakan terkendala pembebasan lahan di kawasan Bidara Cina. Sodetan dirancang mampu mengalirkan air Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur hingga 60 kubik per detik.
Budaya Membuang Sampah
Dalam hal melawan banjir, Jakarta tak hanya berhadapan dengan alam tapi juga dengan kebiasaan buruk sebagian masyarakat membuang sampah secara serampangan.
Dengan seenaknya, masyarakat membuang sampah di sungai dan kali. Geram atas perilaku buruk itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok mengusulkan sanksi tambahan bagi pembuang sampah sembarangan.
Akibat perilaku sebagian warga yang tak bertanggungjawab dan tak peduli, sungai-sungai di Jakarta dipenuhi sampah. Bisa dibilang sungai di Jakarta menjadi keranjang sampah raksasa.
Banjir memang selalu jadi ancaman bagi Jakarta, bahkan sejak tempo dulu. Saat bernama Batavia, Jakarta pun langganan kebanjiran. Banjir besar pernah melanda Jakarta pada tahun 1621.
Kombinasi posisi geografis yang lebih rendah dari permukaan laut dan curah hujan yang tinggi menjadikan Jakarta akrab dengan banjir.
Belum lagi banyaknya sungai yang melewati dan bermuara di utara Jakarta menjadikan Jakarta ibarat cawan raksasa. Sungai itu antara lain Sungai Mookervart, Kali Angke, Kali Sekertaris, Kali Pesanggrahan, dan Sungai Ciliwung.
Upaya mengatasi banjir pun sudah dilakukan sejak masa penjajahan. Misalnya Gubernur Jenderal Batavia keenam JP Coen membuat kanal-kanal guna mengalirkan air menuju laut.
Pada tahun 1922 dibangun Kanal Banjir Barat yang memotong Kota Jakarta dari pintu air Manggarai, Jakarta Selatan hingga Muara Angke, Jakarta Utara. Selain itu, untuk mengalihkan aliran sungai dari hulu, pemerintah juga membangun Cengkareng Drain dan Cakung Drain.
Tahun demi tahun berganti nyatanya situasi tidak juga membaik. Hampir tiap tahun Jakarta tetap kebanjiran. Tak hanya menimbulkan kerugian harta benda, banjir juga merenggut korban jiwa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama 2014, 21 orang tewas akibat banjir di Jakarta. Apa boleh buat, Pemprov DKI Jakarta harus bekerja lebih keras untuk melawan banjir. Tak banyak waktu tersisa sebelum puncak musim hujan menyapa dan membanjiri Jakarta.
Dengan didukung perilaku warga yang baik misalnya tidak membuang sampah pada tempatnya, berbagai upaya pemerintah yang menelan dana besar mestinya dan harus bisa memenangi perang melawan banjir.
Saksikan selengkapnya dalam tayangan Barometer Pekan Ini yang ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (14/11/2015) di bawah ini. (Vra/Mvi)