Potret Menembus Batas: Menjaga Sang Penjelajah Samudera

Meski memiliki karapas atau tempurung yang keras, sejatinya hidup penyu sangat rapuh.

oleh Liputan6 diperbarui 30 Mei 2016, 02:38 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2016, 02:38 WIB
Penyu
Meski memiliki karapas atau tempurung yang keras, sejatinya hidup penyu sangat rapuh.

Liputan6.com, Trenggalek - Reptil purba penjelajah samudera adalah penyu. Tak seperti dinosaurus yang telah punah di zamannya, binatang purba ini mampu bertahan menghadapi evolusi bumi selama ratusan juta tahun sejak akhir masa jurassic.

Hanya tujuh spesies penyu yang masih bertahan hidup di dunia. Enam di antaranya ada di Indonesia. Penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang atau abu-abu, penyu pipih, penyu belimbing dan penyu tempayan.

Taman Kili-Kili, laksana surga bagi penyu untuk bertelur. Kondisi pantai yang terjaga dan minim gangguan, membuat penyu percaya, inilah tempat yang paling tepat menitipkan telurnya.

Konservasi penyu itu menempatkan warga sebagai aktor utama pelestari hewan yang masuk super famili chelonioidea. Konservasi itu dibentuk kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) enam tahun lalu.

"Wah banyak, luar biasa dulu itu. Benar, pasal dulu itu saya dan teman-teman mengambilnya. Tapi itu dulu, sekarang tidak. Dulu, 2010, ada 73 induk, tapi sekarang mulai berkurang. Tapi paling dikit 50 ekor," anggota Pokmaswas Konservasi Penyu, Widodo, menerangkan.

Meski memiliki karapas atau tempurung yang keras, sejatinya hidup penyu sangat rapuh. Keberadaan di pantai saat bertelur adalah salah satu kondisi terlemah penyu. Predator seperti binatang dan utamanya manusia, akan dengan mudah membantai sang induk dan melahap telur-telurnya.

Empat bulan masa bertelur dalam setahun, sekitar 50 ekor penyu mendarat di Pantai Taman Kili-Kili. Salah satunya penyu lekang alias penyu abu-abu. Jenis yang paling banyak dijumpai di Pantai Taman Kili-Kili, selain penyu sisik, hijau dan belimbing.

Sama seperti penyu jenis lain, ritual ke pantai dijalani induk lekang dalam dua sampai delapan tahun sekali. Inilah prosesi regenerasi penyu bernama latin Lepidochelys olivacea.

Ketika ke pantai inilah penyu dalam kondisi sangat lemah, baik bagi dirinya sendiri maupun telur yang dibenamkan. Predator dan manusia jadi ancaman paling berbahaya.

Berbagai penelitian menyebut, pemanasan global mempengaruhi jenis kelamin tukik yang menetas. Hal itu menjadi alasan Vian Dedi Pratama dan Paundra Noor Baskoro, lulusan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, menciptakan maticgator, automatic turtle eggs incubator.

Alat penetas telur penyu itu mampu mempengaruhi kecenderungan jenis kelamin penyu jantan atau betina.

Pantai Taman Kili-Kili menjadi satu dari enam lokasi penelitian dan pengembangan alat penetas otomatis telur penyu. Keberadaan jumlah penyu yang konsisten bertelur setiap tahun dan kepedulian masyarakat menjadi alasan pemilihan lokasi.

Sementara itu, menjaga suhu dan kelembaban pasir serta udara membuat telur menetas dengan tingkat kesuksesan lebih tinggi. Jika penetasan semi alami berada di kisaran 60 persen, pengujian mesin dalam dua tahun terakhir membuktikan angka keberhasilan meningkat di atas 90 persen.

Saat sudah menetas, tukik harus didiamkan di bak pasir selama sehari. Hal ini untuk mengeringkan tali pusarnya sebelum layak dilepas ke kolam air. Sebab, tali pusar yang masih basah berpotensi mengakibatkan infeksi, sehingga risiko kematian dapat diperkecil.

Atas dasar semangat konservasi, sejumlah elemen masyarakat bergotong royong sebelum melepas tukik. Masyarakat sekitar Pantai Taman Kili-Kili menyebutnya prosesi ucul-ucul.

Tepat pada Hari Penyu Internasional, momen terbaik melepas puluhan tukik ke alam. Harapan membubung, meski realita sejumlah penelitian menyebut, rasio keberhasilan tukik menjadi dewasa hanya dua hingga tiga persen.

Bagaimana upaya masyarakat sekitar Pantai Taman Kili-Kili berjuang melakukan konservasi penyu? Saksikan kisah selengkapnya dalam tayangan Potret Menembus Batas SCTV edisi Minggu (29/5/2016) berikut ini.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya