Liputan6.com, Jakarta Union Migrant Indonesia (UNIMIG), sebuah organisasi yang fokus pada perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengungkapkan TKI yang bekerja di sektor informal di Taiwan tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Program Manager UNIMIG Yusherina Gusman menjelaskan terdapat 216.151 orang Indonesia bekerja di Taiwan. Pekerja informal sebanyak 160.104 orang yang meliputi pekerja rumah tangga, pengurus anak dan lain-lain.
"Sisanya sebanyak 56.047 orang merupakan pekerja formal seperti buruh pabrik," tuturnya dalam acara Seminar Perlindungan Hukum TKI yang Berkonflik dengan Hukum di 5 Negara, Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Yusherina meneruskan, dari 216.151 orang tersebut, 26% yang memilik perlindungan hukum yang jelas meliputi Labaour Standart Act dan The Labour Safety and Health Act. Mereka adalah para pekerja formal.
Advertisement
Sedangkan sisanya sebanyak 76% yakni merupakan pekerja informal tidak mendapat ke dua perlindungan hukum tersebut. Hal ini disebabkan adanya permasalahan dengan kontrak kerja yang tidak jelas yang mengatur hubungan tenaga kerja informal di negara Taiwan.
Terkait kasus hukum, terdapat 871 kasus tercatat hingga Februari 2014. Kasus-kasus tersebut seperti pembunuhan, penculikan dan pemerkosaan. Namun, kasus yang paling sering terjadi merupakan gesekan yang terjadi di antara buruh migran.
"Kemarin ada TKI bermasalah dengan buruh migran Thailand karena perebutan wanita," kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya menilai perlunya ada pembekalan pengetahuan hukum di negara penempatan untuk para TKI. selain itu, seharusnya TKI juga diberi informasi kemana bisa mendapatkan pengacara dan pendamping hukum selama konflik berlangsung.
"TKI diedukasi mengenai hak diam dan hak bicara sebagai bagian dari proses hukum. Cerita aja dengan keadaan panik TKI bisa ngomong jujur. Tapi kalo dengan pengacara bisa beda lagi," pungkasnya.