RI dan Malaysia Diminta Tak Saling Bersaing soal CPO

CEO PORAM Mohammad Jaaffar Ahmad menilai, Indonesia dan Malaysia seharusnya saling membantu dalam menjalani bisnis minyak sawit

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 05 Mei 2014, 12:23 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2014, 12:23 WIB
Kelapa Sawit
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Petaling Jaya - Bisnis penyulingan minyak sawit Malaysia tercatat berpotensi menurun sebagai dampak perubahan struktur bea ekspor minyak sawit yang diajukan Indonesia.

CEO Palm Oil Refiners Association of Malaysia (PORAM) Mohammad Jaaffar Ahmad menilai, Indonesia dan Malaysia seharusnya saling membantu mengingat peran kedua negara sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Dia juga menegaskan, Indonesia dan Malaysia sebaiknya berhenti saling menyaingi karena tindakan tersebut dapat melukai produksi masing-masing negara.

"Setiap keputusan yang sewenang-wenang dari Indonesia untuk merestrukturisasi pajak ekspor minyak sawitnya akan mengganggu stabilitas harga minyak sawit mentah (CPO) di kedua negara," ungkapnya seperti dikutip dari The Star Business, Senin (5/5/2014).

Pada 2011, Indonesia pernah secara drastis memangkas bea pajak ekspor minyak sawit olahan yang telah dijernihkan dari 15% menjadi 7%. Tapi Indonesia mempertahankan bea keluar CPO-nya sebesar 15% untuk mendorong ekspor minyak sawit olahannya.

"Langkah tesebut dapat membuat industri kelapa sawit lokal (Malaysia) menderita kerugian pendapatan ekspor minyak sawit parah hingga 9 miliar ringgit pada 2012," jelasnya.

Tak hanya itu, harga CPO Malaysia juga turut mengalami penurunan sebesar 14,8% menjadi 2.764 ringgit per ton pada 2012 dari 3.219 ringgit per ton di tahun sebelumnya. Sementara harga minyak sawit olahannya merosot sebesar 15,5 %.

"Bahkan efek dari harga CPO yang rendah pada 2012 masih terasa hingga 2013," ujar Jaaffar.

Dia mengatakan, perubahan struktur pajak ekspor minyak sawit Indonesia baik yang dijadwalkan tahun ini maupun tahun depan telah menjadi perhatian para pengusaha komoditas tersebut di Malaysia. Namun karena belum ada perubahan yang terlihat, sulit bagi Jaaffar untuk menilai dampaknya bagi Malaysia.

Berdasarkan analisis PORAM, karena kapasitas penyulingan minyak sawit Indonesia akan meningkat hingga 45 juta ton tahun ini. Dengan kondisi tersebut, Indonesia kemungkinan mengalami kelebihan kapasitas dengan produksi CPO Indonesia sekitar 35 juta ton.

"Situasi ini mirip dengan Malaysia dimana permintaan diperkirakan akan lebih tinggi dari pasokan CPO. Maka satu-satunya cara bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor minyak sawit adalah dengan mengurangi struktur bea pajak pada minyak sawit olahan atau menghapus semua bea masuk untuk minyak sawit olahan, seperti yang dilakukan di Malaysia," paparnya.

Jaaffar berharap, pemerintah Indonesia dan Malaysia dapat saling berkonsultasi dan mencoba menemukan solusi yang saling menguntungkan untuk kemajuan industri kelapa sawit di kedua negara. Itu dianggap jauh lebih baik dibandingkan melemahkan satu sama lain melalui perubahan struktur pajak ekspor minyak sawit.

"Setiap reaksi dari Indonesia yang merugikan Malaysia malah akan menghasilkan kontra-reaksi dari kami nantinya. Kedua negara harus bekerja sama, bukan saling menyaingi," tandasnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya