Delapan Investor China Bakal Bangun Smelter di Indonesia

Pemerintah masih menunggu kesiapan perusahaan tambang lain untuk membangun smelter di dalam negeri.

oleh Septian Deny diperbarui 02 Jun 2014, 18:04 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2014, 18:04 WIB
Smelter
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Delapan investor asal China siap menanamkan modal di Indonesia untuk proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel. Pabrik tersebut rencananya akan dibangun di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengatakan bahwa ia akan melakukan pertemuan dengan para investor tersebut pada Rabu (3/6/2014).

"Besok mereka baru mau datang, mau ketemu besok siang. Mereka mau main di feronikel dan turunannya. Ini (pembangunan smelter) diharapkan bisa mempengaruhi kinerja industri manufaktur di Indonesia," ujarnya di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Senin (2/6/2014).

Sayangnya, Harjanto mengaku belum mengetahui nama perusahaan dan hal-hal lebih detail terkait proyek ini. Meski demikian, Harjanto menaksir investasi tersebut setidaknya membutuhkan dana sebesar US$ 4 miliar.

"Lokasi sudah disediakan, power plan sudah, saya lagi minta business plan. Saya perkirakan sampe US$ 4 miliar, ini kan besar," katanya.

Sementara itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengaku memberikan apresiasi terhadap perusahaan-perusahaan China yang mau membangun smelter tersebut.

Menurutnya, selama ini memang pihak China yang paling realistis untuk melakukan pembangunan smelter di Indonesia.

"Yang paling realistis itu pemerintah China, paling tidak G to G (goverment to goverment) sudah terjadi. Dia mengerti latar belakang hukum itu (UU Minerba), makanya mereka komitmen. Secara resmi saya katakan terima kasih kepada RRC. Kami akan melayani sepenuh hati," jelasnya.

Meski demikian, Hidayat juga menyatakan bahwa pemerintah masih menunggu kesiapan perusahaan tambang lain untuk membangun smelter di dalam negeri.

"Ketika UU minerba  launching dan dikatakan ada masa transisi 5 tahun, itu tidak dimanfaatkan dan sekarang timbul reaksi. Bagi yang masih komplain, kami juga mengerti. Kami juga melayani kalau masih dispute di internasional," tandasnya. (Dny/gdn)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya