Tim Reformasi Migas: Rumus Hitung Harga BBM Subsidi Sudah Kuno

"Jadi sebaiknya yang ribet disederhanakan, yang ketinggalan jaman diperbaharui," kata Faisal Basri.

oleh Arthur Gideon diperbarui 09 Des 2014, 14:35 WIB
Diterbitkan 09 Des 2014, 14:35 WIB
SPBU di Jakarta Pusat Stop Jual Solar Bersubsidi
Kebijakan ini dilatarbelakangi turunnya kuota subsidi BBM di APBN-P 2014 dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter, Senin (4/8/14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Meskipun baru menjalankan tugas beberapa minggu, Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas (migas) telah mendapat beberapa kesimpulan sementara mengenai pengelolaan migas di Indonesia. Salah satunya adalah mengenai rumus harga BBM subsidi yang sudah tidak sesuai dengan keadaan saat ini.

Ketua Tim Reformasi tata Kelola Migas, Faisal Basri menjelaskan, patokan rumus yang digunakan oleh pemerintah yang kemudian dieksekusi oleh PT Pertamina Tbk (Persero) dibuat pada tahun 2007 lalu.

Dia pun menjelaskan keadaan sektor migas di tahun itu. Tujuh tahun lalu, impor BBM yang dilakukan oleh Pertamina di kisaran 30 persen terhadap total konsumsi. Selain itu, harga minyak mentah saat itu juga masih di kisaran US$ 50 per barel.

Keadaan di tahun 2007 tersebut sudah berbeda dengan saat ini. "Sekarang kebalikannya, Indonesia impornya sampai 70 persen, sedangkan harga minyak juga sudah naik," tuturnya seperti dikutip, Selasa 9/12/2014).

Oleh karena, tim dalam waktu dekat ini berencana untuk memberikan rekomendasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meniadakan rumus patokan harga tersebut.

Selain itu, perhitungan harga patokan tersebut juga cukup rumit. Pasalnya saat itu pemerintah membuat patokan sendiri untuk Ron 88 yang tidak ada di pasaran. "Patokan harga yang ada itu untuk Ron 92. Jadi untuk Ron 88, pemerintah membuat hitungan sendiri," jelas Faisal.

Patokan tersebut berupa harga Ron 92 dengan porsi sebesar 87,07 persen ditambah dengan Naphtha dengan porsi sebesar 12,93 persen ditambah dengan US$ 0,5 sebagai biaya mencampur. Selain itu, masih ada beberapa komponen lainnya yang cukup rumit.

"Jadi sebaiknya yang ribet disederhanakan, yang ketinggalan jaman diperbaharui," pungkasnya. (Gdn/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya