Rupiah Terpental, Apa BI Bakal Ikuti Jejak Rusia?

Nilai tukar rupiah melemah hingga 1,73 persen dan anjlok ke level Rp 12.933 per dolar AS.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 16 Des 2014, 19:52 WIB
Diterbitkan 16 Des 2014, 19:52 WIB
Ilustrasi Rupiah Turun
Ilustrasi Rupiah Turun (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyatakan dua permasalahan berbeda yang membelit Indonesia dan Rusia meski sama-sama menjadi korban penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Apakah BI akan mengekor Bank Sentral Rusia yang sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 650 basis poin (bps).

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara mengungkapkan, masalah Rusia dan Indonesia sangat berbeda jauh sehingga persoalan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak melulu disikapi dengan kenaikan BI Rate.

"Kalau Rusia menaikkan suku bunga acuan 650 bps menjadi 17 persen dari 10,5 persen, apakah BI mengikuti Rusia? Itu karena masalahnya jauh berbeda," tutur dia kepada wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (16/12/2014).

Dijelaskan Mirza, gejolak ekonomi yang melanda Rusia bukan disebabkan karena penurunan harga minyak dunia. Semua ini, lanjutnya, berawal dari politik internasional akibat konflik dengan Ukraina sehingga memicu tekanan ekonomi dan pasar keuangan, termasuk keluarnya modal investor dari Rusia.  

"Akhirnya Bank Sentral Rusia melakukan intervensi cukup banyak dengan menaikkan suku bunga acuan beberapa kali, dan paling banyak 650 bps menjadi 17 persen karena harga minyak turun sehingga menekan pendapatan Rusia cukup dalam," terangnya.

Sementara permasalahan Indonesia, ucap dia, masih terbelit defisit transaksi berjalan yang diharapkan prosentasenya terus menurun di tahun ini sekira 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Pemerintah dan BI sudah meng-adress sejak tahun lalu dengan pengetatan fiskal dan moneter sehingga rupiah sudah mencerminkan fundamentalnya supaya impor turun dan ekspor manufaktur meningkat," paparnya.

Mirza menyebut, cadangan devisa (cadev) Indonesia tercatat dalam level sangat aman untuk 6,3 bulan impor dan pembayaran utang pemerintah. Dari data BI, posisi cadev Indonesia hingga akhir November 2014 mencapai US$ 111,1 miliar atau lebih rendah bila dibandingkan dengan posisi akhir Oktober 2014 yang sebesar US$ 112 miliar.(Fik/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya