Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) siap menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sektor informal seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT) dua tahun mendatang.
Rencana ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai dampak ekonomi atau potensi kehilangan devisa bagi Indonesia.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid mengungkapkan, pemerintah akan mengirim TKI terlatih dan mempunyai keterampilan (skill worker) sebagai ganti dari stop ekspor PRT ke luar negeri yang mulai diberlakukan pada 2017.
Advertisement
"Jadi ruang warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri masih terbuka, tapi bukan lagi PRT melainkan untuk pekerjaan housekeeper di hotel, pramusaji di restoran atau toko dan menjadi pelayan orang tua yang sakit," jelas dia kepada Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (22/2/2015).
Mantan Anggota DPR ini menegaskan, tidak akan ada kerugian maupun potensi kehilangan devisa akibat pengentian pengiriman PRT ke luar negeri. Lantaran tren pengiriman TKI di sektor informal menurun setiap tahun sejak pemberlakuan moratorium.
Nusron menyebut, pengiriman TKI di sektor informal pada tahun lalu mencapai 429 ribu orang atau merosot dari realisasi 2013 yang tercatat sebanyak 560 ribu orang. Sedangkan tahun ini, pemerintah tidak memasang target ekspor TKI.
"Setelah moratorium, jumlahnya turun 100 ribu orang setiap tahun tapi tren remitansi naik terus, jadi nggak ada potensi kehilangan devisa akibat itu," tutur Nusron.
Dihubungi terpisah, Pengamat Kebijakan Publik dari Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Wijayanto Samirin menilai akibat rencana pemerintah itu akan berdampak pada ekonomi negara ini. Namun imbasnya kecil seiring peningkatan ekspor tenaga kerja berkualitas.
"Dampak ekonominya tentu ada, tapi akan minimal mengingat pengiriman skill worker cenderung meningkat," tandas dia. (Fik/Ahm)