RI Perlu Bank Infrastruktur Buat Kejar Ketertinggalan Ekonomi

Tiongkok menghabiskan US$ 600 triliun di tahun 1990 hanya untuk membangun sarana dan prasarana infrastruktur

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Apr 2015, 11:43 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2015, 11:43 WIB
Proyek Pembangunan Tol Tanjung Priok Dikebut
Sejumlah kendaraan saat melintas di bawah proyek jalan tol Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (25/3/2015). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendorong konsorsium Tol Akses Tanjung Priok (ATP) agar mempercepat pembangunannya. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Infrastruktur menjadi landasan pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Sayang, dana An‎ggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih rendah sehingga pembangunan infrastruktur di Indonesia jauh tertinggal jika dibanding dengan negara-negara lain. Pemerintah memandang, perlu ada sarana di luar APBN untuk menunjang pembangunan infrastruktur.

Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Emma Sri Martini bercerita, penguatan sektor infrastruktur sebagai landasan perbaikan taraf hidup bangsa sudah dibuktikan oleh Tiongkok dan Singapura.

"Tiongkok menghabiskan US$ 600 triliun di tahun 1990 hanya untuk membangun sarana dan prasarana infrastruktur," ujar dia dalam Forum Diskusi Bank Infrastruktur di Ballroom Kempinski, Jakarta, Kamis (2/4/2015).

Hasilnya, Negeri Tirai Bambu ini menjelma menjadi raksasa manufaktur, pusat investasi regional maupun global serta mencatat pertumbuhan ekonomi signifikan. 

Singapura pun begitu, negara mungil yang luasnya hanya satu kotamadya di Indonesia mampu menjadi pusat konektivitas dunia karena mempunyai infrastruktur memadai. Semua kegiatan ekspor dan impor dari Asia ke Eropa dan Amerika melalui negara tersebut.

Pertanyaan saat ini, bagaimana dengan Indonesia?

Emma menjelaskan, Indonesia jauh tertinggal jika dibanding sejumlah negara lain di ASEAN. Hal ini bisa dilihat dari indeks daya saing global 2013-2014 dari World Economic Forum yang menempatkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada peringkat 61.  Posisi ini lebih buruk dari Malaysia di urutan 29, Brunei Darussalam 58, Thailand 47, dan Singapura 2.

"Indonesia lebih baik dibanding Filipina di peringkat 96, Vietnman 82, Laos 84, Kamboja 101 dan Laos 141," tutur dia.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ‎2015-2019 sebesar Rp 5.519 triliun atau sekira Rp 1.102 triliun rata-rata kebutuhan per tahunnya.

Dana sebesar ini tidak dapat dipenuhi pemerintah karena dalam APBN-P 2015, anggaran belanja infrastruktur sebesar Rp 290 triliun atau yang terbesar dalam sejarah APBN. Namun jika dibanding dengan total PDB Indonesia sekira Rp 10 ribu triliun sampai Rp 11 ribu triliun, nilai anggaran ini kurang dari 3 persen terhadap PDB.

"Sementara biaya infrastruktur‎ Tiongkok 10 persen dan Brazil sebesar 5 persen dari PDB masing-masing. Jadi kita perlu menutupi kekurangan anggaran pembangunan infrastruktur Rp 1.102 triliun per tahun," ujar Emma.

Atas dasar itu, dia mengaku, perlu sebuah bank infrastruktur untuk mempercepat ketertinggalan infrastruktur di negeri ini. Alasannya, dijelaskan Emma, perbankan nasional hanya mampu menyalurkan kredit infrastruktur 16,8 persen dari keseluruhan kredit atau hanya Rp 244,8 triliun.

"Bank Infrastruktur diharapkan tidak hanya menjadi penyedia dana jangka panjang bagi pendanaan infrastruktur semata, tapi juga agen pembangunan bagi ekonomi Indonesia. Bank Infrastruktur dapat menciptakan sinergi investor swasta, private equity dan perbankan dalam pendanaan proyek infrastruktur," papar Emma. (Fik/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya