Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah membantah Indonesia masuk dalam fase krisis mata uang meski nilai tukar rupiah terus melemah hingga ke level 13.300 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan nilai tukar rupiah ini lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal, diantaranya isu kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) serta perlambatan ekonomi dunia.
"Tidak lah (krisis mata uang)," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (12/6/2015).
Dia menjelaskan, rata-rata inflasi Indonesia selama satu dekade mencapai 7 persen atau jauh lebih tinggi dibanding realisasi rata-rata inflasi AS sepanjang periode yang sama. Dengan kondisi demikian, sambungnya, yang terjadi mata uang rupiah justru tidak mengalami penyesuaian selama 10 tahun.
Seharusnya, kata Sofyan, dengan inflasi AS rata-rata 2 persen dan Indonesia rata-rata 7 persen, maka mata uang rupiah mestinya mengalami penyesuaian 5 persen per tahun.
"Tapi mata uang rupiah justru menguat. Kenapa? Karena kita ekspor komoditas yang harganya selangit, banjir dolar AS ke Indonesia, dan waktu rupiah menguat 9.000 per dolar AS, kita tepuk tangan. Padahal itu cuma semu," terangnya.
Saat ini, Sofyan melanjutkan, rupiah terkoreksi. Paling penting, pelemahan ini harus mencerminkan nilai fundamental ekonomi Indonesia. "Koreksi rupiah itu yang kami inginkan, tapi terlalu cepat. Pelemahan harus terjadi secara gradual. Kami tidak mau rupiah terlalu melemah dan tidak terlalu menguat karena tidak bagus buat ekonomi kita," tegas Sofyan.
Oleh sebab itu, tambah dia, pemerintah tengah memperbaiki hambatan di internal, karena faktor nilai tukar rupiah disebabkan karena kondisi global yang di luar kontrol Indonesia.
"Bagaimana kita mempercepat infrastruktur, memperbaiki regulasi, melakukan terobosan guna meningkatkan ekspor, memudahkan investasi. Faktor eksternal lagi tidak bersahabat dengan kita, maka internal yang harus di push," pungkasnya. (Fik/Gdn)
Menko Sofyan Bantah RI Krisis Mata Uang
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah harus mencerminkan faktor fundamental.
Diperbarui 12 Jun 2015, 15:54 WIBDiterbitkan 12 Jun 2015, 15:54 WIB
Petugas menghitung mata uang AS di penukaran valas Ayu Masagung, Jakarta, Senin (9/3/2015). Pada awal perdagangan rupiah dibuka pada level 12.994 atau melemah 18 poin dibanding penutupan akhir pekan lalu di posisi 12.976. (Liputan6.com/Faizal Fanani)... Selengkapnya
Advertisement
Video Pilihan Hari Ini
EnamPlus
powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Mitsubishi Xpander Hybrid Baru Mengaspal, Harganya Rp 478 Juta
Menteri Bahlil Pastikan Pasokan Listrik dan Bahan Bakar Aman Jelang Lebaran 2025
Ini Motif Dukun Palsu Bunuh Ibu dan Anak dalam Toren di Tambora
Yusuf Saadudin Ditunjuk jadi Dirut Bank BJB, Gantikan Yuddy Renaldi yang Mundur
Didominasi Kelompok Gay, Jumlah Penderita HIV di Kota Depok Capai 405 Orang
Gempa M 4,4 Guncang Naples Italia, Picu Kepanikan Warga hingga Rusak Bangunan
Kemkomdigi dan ITF Bersinergi Perkuat Ekosistem Digital Indonesia
THR Lebaran 2025 Karyawan Swasta Cair Kapan? Simak Aturan Terbarunya!
Cegah Gula Darah Melonjak Usai Buka Puasa, Terapkan 3 Cara ini agar Terkontrol
Ngabuburit Sambil Nobar Pertandingan Timnas Indonesia Lawan Australia di Museum Kereta Api Ambarawa
350 Kata-kata Lebaran Tanpa Ayah yang Menyentuh Hati
6 Potret Gio MasterChef Dampingi Istri Melahirkan, Clairine Clay Datang Menjenguk