Liputan6.com, Jakarta - Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi mengungkapkan Rupiah terpantau ditutup menguat 132 poin terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan Rabu sore, 5 Maret 2025 setelah sempat menguat 140 poin di level 16.312 dari penutupan sebelumnya di level 16.445.
"Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp 16.230 - Rp 16.320,” ungkap Ibrahim dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/3/2025).
Baca Juga
Rupiah menguat terhadap dolar AS di tengah momentum penerapan tarif dagang Presiden AS Donald Trump terhadap China, Kanada, dan Meksiko pekan ini. Donald Trump menyoroti rencana untuk tindakan tarif yang lebih ketat selama pidatonya di Kongres.
Advertisement
"Rencana Trump untuk tarif timbal balik juga akan berdampak pada ekonomi berorientasi ekspor utama di Asia, terutama Korea Selatan, Australia, Taiwan, dan Singapura. Namun, pasar sedikit lega setelah Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyatakan bahwa Trump mungkin terbuka untuk mencapai kesepakatan perdagangan dengan Kanada dan Meksiko,” papar Ibrahim.
Menanggapi tarif dagang tersebut, China mengumumkan serangkaian tindakan balasan yang menargetkan impor pertanian AS dan sektor lainnya setelah tarif 20% terhadap negara itu mulai berlaku.
"Fokus juga tertuju pada lebih banyak langkah stimulus dari China saat Kongres Rakyat Nasional dimulai.Pemerintah diharapkan menguraikan lebih banyak stimulus untuk mendukung ekonomi China, terutama dalam menghadapi hambatan terkait perdagangan," lanjut Ibrahim.
Terbaru, China menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% untuk 2025. Angka tersebut mempertahankan target tersebut untuk tahun ketiga berturut-turut.
Indonesia Bidik Pendapatan Negara Sentuh 18% Terhadap PDB 5 Tahun ke Depan
Presiden RI Prabowo Subianto telah menetapkan target fiskal untuk lima tahun, seperti pertumbuhan ekonomi, rasio perpajakan, belanja negara, hingga persentase rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Ketetapan itu tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12/2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, dokumen mulai berlaku pada 10 Februari 2025.
Terdapat enam sasaran fiskal pemerintah selama 2025-2029. Pertama, adalah pendapatan negara sebesar 13,75%-18,00% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2029) yang berasal dari penerimaan perpajakan yang ditargetkan mencapai 11,52%-15,00% terhadap PDB pada 2029 dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang yang ditargetkan mencapai 2,21%-2,99% terhadap PDB pada 2029.
Kedua, belanja negara sebesar 16,20%-20,50% terhadap PDB pada 2029. Belanja negara itu akan berasal dari belanja pemerintah pusat yang ditargetkan mencapai 11,79%-15,01% terhadap PDB pada 2029 dan transfer ke daerah yang yang ditargetkan mencapai 4,41%-5,49% terhadap PDB pada 2029 (dari baseline 3,89% pada 2024).
Selanjutnya, keseimbangan primer sebesar -0,15% sampai dengan -0,20% terhadap PDB pada 2029 (dari baseline -0,09% pada 2024).
Fokus Lainnya
Keempat, surplus/defisit APBN sebesar -2,45% sampai dengan -2,50% terhadap PDB pada 2029 (dari baseline -2,29% pada 2024). Kelima, stok utang pemerintah sebesar 39,01% sampai dengan 39,10% terhadap PDB pada 2029 (dari baseline 39,5% pada 2024).
Keenam, pembiayaan investasi sebesar 0,50% sampai dengan 1,00% terhadap PDB pada 2029 (dari baseline 0,37% pada 2024).
"Dalam dokumen RPJMN itu dijelaskan pemerintah akan mengarahkan kebijakan fiskal jangka menengah 2025-2029 ke upaya untuk mengakselerasi reformasi struktural sebagai kunci bagi percepatan transformasi ekonomi menuju Indonesia Emas 2045,” Ibrahim menyoroti.
Advertisement
Pembukaan Rupiah
Sebelumnya, kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS) berdampak pada pelemahan dolar AS, yang turut mendorong penguatan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Dikutip dari ANTARA, Rabu (5/3/2025), pada pembukaan perdagangan hari Rabu di Jakarta, rupiah tercatat menguat 14 poin atau 0,09 persen menjadi 16.431 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya di 16.445 per dolar AS.
Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, menyatakan bahwa ketidakpastian ekonomi AS menjadi faktor utama di balik pergerakan ini.
Pelemahan Dolar AS Akibat Kebijakan Tarif Impor
Indeks dolar AS melemah ke level 105,6, posisi terendah sejak awal Desember 2024. Penyebab utama pelemahan ini adalah kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Langkah ini memicu kekhawatiran investor mengenai prospek ekonomi AS ke depan.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada Senin (3/3) bahwa tarif impor sebesar 25 persen untuk produk asal Kanada dan Meksiko mulai berlaku pada Selasa (4/3).
Sebelumnya, kebijakan ini telah ditandatangani sejak 1 Februari namun mengalami penundaan satu bulan. Selain itu, AS juga mengenakan tarif impor 10 persen terhadap barang asal China sebagai langkah lanjutan untuk menekan peredaran fentanil di dalam negeri, sehingga total tarif impor terhadap produk China meningkat menjadi 20 persen.
Dampak terhadap Mata Uang Negara Berkembang
Pelemahan dolar AS memberikan ruang bagi penguatan mata uang emerging markets, termasuk rupiah. Namun, Ariston menegaskan bahwa penguatan ini belum tentu berkelanjutan.
Mata uang negara berkembang masih berisiko tertekan oleh dinamika global, terutama terkait kebijakan ekonomi AS yang dapat berubah sewaktu-waktu.
“Kenaikan tarif impor berpotensi memicu perang dagang, yang dapat menghambat perdagangan global serta berdampak negatif terhadap perekonomian negara berkembang,” jelas Ariston.
Advertisement
