Krisis Yunani Tak Berdampak ke RI

Neraca perdagangan Indonesia dengan Yunani tidak lebih dari US$ 20 juta per tahun.

oleh Septian Deny diperbarui 06 Jul 2015, 22:11 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2015, 22:11 WIB
Yunani memilih 'Tidak' dalam referendum
Yunani memilih 'Tidak' dalam referendum (Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Krisis yang dialami oleh Yunani dinilai tidak akan berdampak besar pada Indonesia. Pasalnya neraca perdagangan antara Indonesia dengan Yunani terbilang kecil.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto mengatakan, dampak dari krisis Yunani akan terasa besar bagi Indonesia jika krisis Yunani menjalar ke negara lain di Eropa sehingga membuat perekonomian Eropa memburuk.

"Kita kan melihat dampaknya dari neraca perdagangan, tapi neraca perdagangan kita dengan Yunani kecil sekali. Kecuali secara global makin sulit," ujarnya di Wisma Elang Laut, Jakarta, Senin (6/7/2015).

Dia menjelaskan, neraca perdagangan Indonesia dengan Yunani tidak lebih dari US$ 20 juta per tahun. Produk-produk Indonesia yang diekspor ke negara tersebut pun sebagian besar bukan produk unggulan.

Meski demikian, Suryo meminta tetap meminta pemerintah untuk waspada. Dirinya khawatir jika krisis Yunani ini berdampak pada pasar modal. "Dampaknya yang dikhawatirkan kan ke pasar modal, ternyata di Nikkei (bursa saham Jepang) kecil sekali. Jadi tidak khawatir. Walau pun begitu kita harus tetap waspada juga dengan perkembangan Eropa," tandasnya.

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro pun mengatakan hal yang sama. Kegagalan Yunani membayar utangnya kepada IMF pada 30 Juni 2015 tidak akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia.

"Imbasnya hanya terjadi gejolak di pasar uang, saham dan Surat Utang Negara (SUN)," ucap dia saat berbincang dengan wartawan di Gedung Banggar DPR, Jakarta, Senin (6/7/2015).

Bambang mengatakan, ada risiko bagi Yunani jika keluar dari Uni Eropa. Salah satunya adalah kesulitan memperoleh sumber pembiayaan karena pengalaman gagal bayar utang.

"Mereka (Yunani) masih punya utang. Kalau keluar, mereka tidak perlu cetak mata uang baru dan mereka akan kesulitan mendapat sumber pembiayaan karena tidak ada lagi yang mau minjemin. Mereka tidak mau bayar ke IMF, Bank Sentral Eropa (ECB), jadi agak sulit, dilema, keduanya tidak enak buat mereka," tegas dia. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya