Kenapa Indonesia Harus Impor dan Cari Migas ke Luar Negeri?

Indonesia yang dulu dikenal sebagai negeri kaya minyak kini harus rutin mengimpor minyak dari luar negeri.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 09 Jul 2015, 07:50 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2015, 07:50 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Tambang Minyak 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Konsumsi minyak dan gas (migas) di dalam negeri dari waktu ke waktu terus meningkat. Peningkatan ini tidak bisa dipenuhi dari hasil produksi migas dalam negeri. Akibatnya, Indonesia yang dulu dikenal sebagai negeri kaya minyak kini harus rutin mengimpor dari luar negeri.

"Kita tidak bisa menyangkal bahwa produksi migas domestik sudah tidak bisa penuhi permintaan dalam negeri. Sumber migas Indonesia terbatas, sementara kebutuhan sangat tinggi," kata  Direktur Energi Baru Terbarukan (EBT) PT Pertamina (Persero) Yenni Andayani di Jakarta, Rabu (8/7/2015) malam.

Data Pertamina menunjukkan, dari total konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Tanah Air sebanyak 1,6 juta barel per hari (bph), hanya 850 ribu bph yang dapat diproduksi di dalam negeri sehingga sisanya diimpor.

Bahkan dari 850 ribu BBM yang diproduksi di kilang Pertamina, hanya 60 persen bahan baku berupa minyak mentah berasal dari lapangan minyak dalam negeri. Sisanya, sekitar 40 persen minyak mentah juga diimpor.

Tak hanya BBM dan minyak mentah, ke depan Indonesia juga harus mengimpor gas dalam bentuk LNG untuk memenuhi kebutuhan gas nasional. Pertamina mencatat selisih (gap) antara kebutuhan gas domestik dengan produksi akan terus meningkat dari saat ini 2,5 miliar kaki kubik per hari (bcfd) menjadi 4 bcfd pada 2025.

(FOTO:Antara)

Angka ini sudah memperhitungkan jika hasil produksi gas dari proyek-proyek besar seperti Jangkrik, Masela dan Tangguh dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

"Meski seluruh produksi proyek-proyek tersebut didedikasikan untuk domestik sekali pun, tetap tidak bisa penuhi kebutuhan domestik," ungkap Yenny.


Untuk itu, Pertamina mengambil inisiatif untuk menutup potensi gap 4 bcfd itu. Caranya dengan mengimpor LNG dari luar negeri.  Salah satu yang diincar adalah shale gas yang sedang booming di Amerika Serikat.

Namun, Yenny mengingatkan, hal paling penting dalam melakukan impor LNG adalah mencari waktu yang pas. Satu yang harus diwaspadai yaitu saat ini di pasar LNG, pembeli masih memiliki posisi lebih kuat ketimbang penjual sehingga harga gas masih bisa dijangkau, namun kondisi ke depan justru akan sebaliknya.

Ketika posisi penjual lebih kuat dibanding pembeli, Yenny khawatir harga akan kian mahal. Untuk itu, pengadaan LNG itu sebaiknya dipersiapkan dari sekarang agar dapat harga yang bagus.

"Saat ini Pertamina sudah secure pasokan LNG dengan sejumlah penjual gas," terangnya.

Selain dari sisi pasokan, infrastruktur gas juga disiapkan untuk menyalurkan pipa gas hingga fasilitas penerima LNG. Melalui langkah ini, Pertamina ingin membantu pemerintah untuk menghindarkan Indonesia dari krisis gas dan membantu menjamin ketersediaan gas untuk masyarakat, pelaku industri, dan pembangkit listrik milik PT PLN (Persero).

Akuisisi lapangan dan bangun kilang

Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam menuturkan, untuk mengurangi ketergantungan bahkan menghilangkan impor migas, perseroan akan terus berupaya untuk meningkatkan produksi dan cadangan migas yang dimiliki Pertamina.

Ada sejumlah cara yang dilakukan mulai dari meningkatkan produksi dari lapangan-lapangan migas eksisting yang dikelola perseroan, Pertamina juga tengah mengincar sejumlah lapangan minyak di dalam dan luar negeri.

Melalui langkah ini diharapkan Pertamina bisa memproduksi migas 1,95 juta barel setara minyak (boepd)-2,2 juta boepd pada 2025. Tak cuma dari sisi produksi, aksi akuisisi lapangan migas ini juga bertujuan untuk menambah cadangan minyak perseroan.

Maklum berdasarkan data Wood Mackenzie, saat ini Pertamina hanya menguasai 10 persen dari total cadangan yang ada di Indonesia.

Angka ini jauh lebih kecil dari negara  lain, di mana perusahaan minyak nasional menguasai cadangan minyak lebih besar. Misalnya di Thailand, perusahaan minyak nasionalnya menguasai 30 persen dari total cadangan migas di negara itu, kemudian Vietnam 31 persen, Malaysia 49 persen, Brasil 70 persen, Venezuela 92 persen, bahkan Arab Saudi 99 persen.

Ilustrasi Perusahaan Minyak dan Gas Pertamina

"Kami bantu negara dengan mencari tambahan cadangan di luar negeri. Untuk itu, blok yang dibeli juga harus yang sudah terbukti memiliki cadangan dan berproduksi, tidak blok eksplorasi," papar dia.

Dari sisi pengolahan BBM, Pertamina juga berencana untuk meningkatkan kapasitas kilang eksisting di Tanah Air untuk melepaskan Indonesia dari impor BBM. Di samping itu, tiga kilang baru juga akan dibangun. Melalui langkah ini kilang Pertamina bisa menghasilkan 2,3  juta bph BBM pada 2025.

"Ada 4 proyek RMDP (Refinery Development Master Plan) dan tiga kilang baru sedang dan akan digarap Pertamina," kata Direktur Pengolahan Pertamina Rachmad Hardadi. (Ndw/Ahm)

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya