Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merapatkan barisan untuk menggelar Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) tingkat Deputi. Salah satunya membahas perekonomian terkini, khususnya antisipasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Dari pantauan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (11/8/2015), sejumlah pejabat Eselon I, II dan deputi sejak pukul 19.00 WIB bergerak ke Aula Mezzanine Gedung Kemenkeu, Lapangan Banteng Jakarta.
Terlihat Pelaksana Tugas Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara, Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Luky Alfirman, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Solikin M Zuhro dan lainnya.
Advertisement
Mirza mengungkapkan, rapat ini digelar untuk tingkat Deputi yang biasanya rutin berlangsung setiap bulan. Kemudian hasilnya akan dibawa pada rapat FKSSK di tingkat pimpinan.
"Rapat bulanan saja FKSSK, kalau tingkat pimpinan kan setiap tiga bulan. Nanti Kamis (11/8/2015) level pimpinan," ujar dia.
Mirza membenarkan rapat ini membahas kondisi perekonomian terkini, salah satunya mengenai kurs rupiah. Seperti diketahui, nilai tukar rupiah sudah menembus level 13.600 per dolar AS.
"Iya (perekonomian terkini termasuk rupiah). Tapi memang momennya saja pas malam ini," ucap dia.
Lebih jauh Mirza mengatakan, saat ini terjadi fenomena penguatan dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang di dunia, termasuk Indonesia. Kondisi ini ditambah kebijakan China mendepresiasi mata uangnya 1,9 persen.
"Cuma dua mata uang yang tidak melemah Franc Swiss dan Poundsterling. Sementara Yuan hanya melemah sedikit sekali, karena terkontrol," tegasnya.
Sementara itu, Suahasil Nazara mengatakan, pelemahan rupiah tidak akan berdampak besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disusun pemerintah. Sebab, katanya, kondisi keuangan negara saat ini sudah lebih baik dibanding sebelum subsidi BBM dihapus.
"Dari pelemahan rupiah, Penerimaan Negara Bukan Pajak pasti naik, tapi pembayaran utang dalam dolar juga meningkat. Ini akan terkompensasi, jadi buat APBN tidak mengkhawatirkan," tegasnya.
Depresiasi kurs rupiah, dinilai Suahasil, bisa mendorong daya saing produk barang ekspor Indonesia karena harganya lebih murah. "Tapi kan China juga mendevaluasi mata uangnya, jadi bisa menurunkan harga barangnya dan mendorong competitiveness mereka," tandas Suahasil. (Fik/Ndw)