Dolar AS Berjaya di NKRI Gara-gara BUMN Langgar Aturan

Nilai tukar rupiah masih betah berada di level 14 ribu per dolar AS bukan tanpa sebab.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Agu 2015, 21:08 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2015, 21:08 WIB
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah
Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah masih betah berada di level 14 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) bukan tanpa sebab. Serangan faktor eksternal dan dometik terus menekan kurs rupiah, terutama tidak patuhnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menerapkan kewajiban penggunaan rupiah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 
 
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Haryadi Sukamdani mengungkapkan, jatuhnya rupiah dipicu dari permintaan dolar AS yang tinggi di dalam negeri. Pasalnya, sebagian besar pengusaha di Tanah Air masih tergantung pada impor bahan baku.
 
"Di dalam negeri saja, kita masih beli gas dalam dolar AS. Tahu tuh kenapa BUMN masih jual dalam dolar AS ya? Transaksi di pelabuhan oleh Pelindo II saja masih pakai dolar AS. Jadi yang bandel-bandel itu justru BUMN," ujar dia saat 'Diskusi Rupiah Terkapar, Bagaimana Dengan Bisnis?' di Plaza Semanggi, Jakarta, Rabu (26/8/2015). 
 
Pelanggaran perusahaan pelat merah ini atas kewajiban penggunaan rupiah di dalam negeri, dinilai Haryadi tidak fair. Artinya, sambung dia, ada ketidakpercayaan pengusaha lokal untuk menggunakan rupiah di Negeri sendiri. 
 
"Ini harus segera berakhir, karena kita terus dihantam berbagai permasalahan lain, seperti devaluasi Yuan yang seperti jurus dewa mabok, tapi bikin orang takut. Ditambah lagi, harga minyak dunia terjun bebas, sehingga diperkirakan kepanikan ini akan berlangsung sampai akhir tahun," kata dia. 
 
Yang jadi dilema, lanjutnya, pengusaha tidak mampu menaikkan harga jual karena daya beli masyarakat sedang melorot. Kondisi tersebut berujung pada penurunan omzet perusahaan sehingga berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).  (Fik/Ndw)
 
"Praktis tenaga outsourcing tidak diperpanjang kontraknya, merumahkan sebagian karyawan. Mengurangi jam kerja," papar dia. 
 
Haryadi mengaku, dari data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), ada 13 perusahaan gulung tikar akibat tidak sanggup lagi menanggung beban berat akibat perlambatan ekonomi dan terpuruknya kurs rupiah
 
"Tapi kalau perusahaan yang di bawah naungan APINDO yang tutup belum ada. Mungkin saja pengusaha mau mau bilang tutup. Karena menurut mereka biar tekor asal tersohor," pungkas dia. (Fik/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya