Ini Penyebab Utang Luar Negeri Turun

IMF dan ADB masing-masing memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 sebesar 5,1 persen dan 5,4 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Nov 2015, 11:12 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2015, 11:12 WIB
Tingkat Utang RI Paling Rendah di Asia
Dari hasil riset HSBC menyebutkan, Singapura menjadi negara dengan tingkat utang tertinggi, yaitu mencapai 450 persen terhadap PDB.

Liputan6.com, Jakarta - Utang Luar Negeri (ULN), baik sekor swasta maupun publik, pada akhir kuartal III tercatat turun US$ 2,1 miliar menjadi US$ 302,4 miliar dibanding realisasi kuartal II 2015 sebesar US$ 304,5 miliar. Penyebabnya karena pelemahan nilai tukar rupiah yang membuat perusahaan enggan berutang.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad saat acara Seminar Outlook Ekonomi dan Pasar Modal 2016 mengakui bahwa utang luar negeri menunjukkan tren penurunan seiring dinamika pergerakan kurs rupiah.

Untuk diketahui, pada kuartal III 2015, rupiah secara rata-rata melemah 5,35 persen per kuartal ke level Rp 13.873 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Tren ULN kuartal III ini menurun, karena dinamika pergerakan kurs rupiah yang dihadapi mendorong perusahaan tidak menambah utang luar negerinya," kata Muliaman di Hotel JW Marriot, Jakarta, Kamis (19/11/2015).


Perkembangan positif tersebut, diakuinya, ditandai dengan peningkatan indeks tendensi bisnis dan indeks keyakinan bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha masih sangat optimistis menjalankan usahanya tahun depan.

Mengutip dari laporan lembaga internasional, Muliaman memperkirakan perekonomian Indonesia dapat lebih baik di tahun depan meskipun bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global masih menyelimuti negara-negara maju dan berkembang.

International Moneter Fund (IMF) dan Asian Development Bank (ADB) masing-masing memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 sebesar 5,1 dan 5,4 persen. Adapun inflasi tahun depan diramalkan 5,1 persen oleh ADB dan OECD sebesar 6,3 persen.

"Pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan 12-13 persen sampai akhir 2016. Tapi tekanan outflow dari investor asing sedikit mereda di pasar modal, termasuk risiko kredit dan pasar keuangan domestik lebih stabil dan volatilitas lebih baik," terang Muliaman.

Prediksi optimistis ini, diucapkan Muliaman, disokong serangkaian reformasi dari pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi. OJK pun telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan perbankan dan sektor jasa keuangan lain, termasuk pasar modal.

"Kita juga akan mempermudah proses Innitial Public Offering (IPO), penerbitan surat utang di tahun depan. Karena investor di pasar modal mengeluhkan biaya mahal untuk penerbitan obligasi korporasi dibanding biaya memperoleh pinjaman karena ada biaya underwriting dan lainnya," jelasnya.

Target besar OJK, ujar Muliaman, akan merampungkan masterplan sektor jasa keuangan di akhir 2015. Tujuannya, agar industri keuangan nasional mempunyai daya tahan saat Indonesia dilanda krisis. Selain itu, industri keuangan diharapkan dapat berkontribusi lebih dalam pembangunan ekonomi dan membuka akses seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat.

"Saat ini krisis cepat sekali datang, mungkin karena senang dengan kita. Biasanya 10 tahun sekali. Jadi kita harus punya industri keuangan dengan modal yang kuat, Good Corporate Governance (GCG) kuat dan dikelola orang-orang profesional kuat," papar Muliaman. (Fik/Gdn)*

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya