Dorong Penurunan Harga Obat, BKPM Buka Investasi Industri Farmasi

Proyeksi investasi di sektor farmasi Indonesia untuk pada 2015 hingga 2025 diperkirakan akan mencapai Rp 215 triliun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 09 Des 2015, 18:31 WIB
Diterbitkan 09 Des 2015, 18:31 WIB
obat bipolar
Obat Quetapine mengakibatkan lemas dan sakit perut jika diberikan pada individu yang sehat. (foto: Daily Mail)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terus mendorong pengembangan investasi di industri farmasi Indonesia dengan mengutamakan kemandirian obat, substitusi impor dan peningkatan ekspor serta pengusaan teknologi. Langkah tersebut dilakukan untuk sektor farmasi dalam negeri sehingga impor bahan baku obat yang selama ini membuat harga obat di dalam negeri tinggi bisa dikurangi.

Kepala BKPM, Franky Sibarani menjelaskan, BKPM siap mendukung komitmen berbagai pihak untuk mendorong transformasi industri farmasi Indonesia dari yang hanya memproduksi obat menjadi riset pengembangan obat dan memproduksi bahan baku obat.

Dia yakin hal tersebut dapat dilakukan merujuk data Gabungan Produsen Farmasi (GP Farmasi) bahwa proyeksi investasi di sektor farmasi Indonesia untuk pada 2015 hingga 2025 diperkirakan akan mencapai Rp 215 triliun. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan potensi sektor farmasi Indonesia di tahun 2025 mencapai Rp 700 triliun yang terdiri dari pasar domestik sebesar Rp 450 triliun dan pasar ekspor Rp 250 triliun.


“Dalam pertemuan disebutkan bahwa total investasi industri farmasi Indonesia 2015-2025 akan mencapai angka Rp 215 triliun dengan rencana penyerapan tenaga kerja mencapai 2 juta lapangan kerja. Minat investasi yang sudah disampaikan ke BKPM untuk sektor farmasi cukup banyak. Tinggal bagaimana seluruh stakeholder bersinergi kembangkan ekosistem usaha sektor farmasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (9/12/2015).

Menurut Franky, dalam beberapa bulan terakhir, dirinya telah bertemu langsung dengan investor-investor asing yang menyampaikan minat investasinya di bidang industri farmasi di Indonesia. “Terakhir adalah minat investasi dari Singapura. Sebelumnya, dalam kunjungan bersama dengan Presiden di Amerika Serikat (AS), perusahaan farmasi AS juga berminat untuk masuk ke sektor ini,” paparnya.

Daya tarik investasi industri farmasi Indonesia terletak pada tiga bagian penting yakni pasar farmasi terbesar di ASEAN, implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan posisi Indonesia yang sudah tergabung dalam negara-negara PIC/S atau negara dengan standar kualitas farmasi internasional.

Langkah pengembangan investasi sektor farmasi lainnya, menurut Franky adalah penyusunan Panduan Investasi sektor tersebut. BKPM dalam pembahasan revisi panduan investasi menerima usulan untuk membuka batas kepemilikan asing lebih luas di bidang usaha industri bahan baku obat dan industri obat jadi yang saat ini maksimal 85 persen asing menjadi 100 persen asing.

“Pembahasan yang dilakukan dalam koridor apakah menahan 15 persen saham kepemilikan di pengusaha nasional dapat mendorong terjadi transfer teknologi, atau justru dengan membuka lebih lebar dapat mendorong minat perusahaan farmasi untuk mendirikan riset pengembangan obatnya di Indonesia,” ungkapnya.

Sebelumnya kunjungan kerja Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ke Singapura pada akhir pekan lalu (4/12/2015) berhasil mengantongi minat investasi US$ 165 juta. Minat investasi tersebut berasal dari dua sektor yakni telekomunikasi sebesar US$ 150 juta dan farmasi sebesar US$ 15 juta. Investor Singapura di bidang farmasi tersebut akan diarahkan untuk memanfaatkan layanan izin investasi 3 jam di BKPM. (Fik/Gdn)



**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya