Obat Mahal Akibat Permainan Bisnis, Ini Kata Bos Kimia Farma

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mencurigai adanya praktik usaha yang tidak sehat di industri farmasi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Des 2015, 16:15 WIB
Diterbitkan 27 Des 2015, 16:15 WIB
23 Website Penjual Obat Ilegal Diblokir
Ilustrasi obat (ist.)

Liputan6.com, Jakarta - PT Kimia Farma Tbk (KAEF) angkat bicara terhadap dugaan permainan di bisnis farmasi sehingga menyebabkan harga obat sangat mahal. Hal tersebut menyusul penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mencurigai adanya praktik usaha yang tidak sehat di industri farmasi.

Direktur Utama Kimia Farma, Rusdi Rosman tidak membantah adanya praktik permainan di industri farmasi, khususnya perusahaan-perusahaan obat berskala besar yang menjual obat-obat bermerek. Jenis obat ada dua, yakni obat generik berlogo (OGB) dan obat bermerek (branded).  

"Saya tidak tahu, coba saja tanya perusahaan farmasi besar yang jualan obat branded. Kalau kami kan mainnya di obat generik," ucap Rusdi saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (27/12/2015).

Katanya, perseroan menjual langsung obat generik kepada pemerintah melalui tender katalog elektronik (e-catalog). Sehingga diyakini Rusdi jauh dari permainan kotor karena prosesnya dilakukan secara terbuka.


"Kami kan tender pakai katalog jadi tidak ada yang bermain. Wong marjinnya saja kecil kok sekitar 5 persen. Orang semua juga sudah tahu Kimia Farma," jelas Rusdi.

Sebelumnya, Komisioner KPPU Sukarni menduga, ada beberapa faktor yang menyebabkan obat paten dan generik bermerek relatif mahal. Pertama, karena dugaan karena adanya interaksi antara industri farmasi dan dokter.

"Sedangkan dari sisi aturan sudah tidak diperbolehkan, beberapa hari lalu untuk DPR meminta kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk melarang dokternya membuat transaksi dengan farmasi," ujarnya.

Kemudian, adanya dugaan penggabungan usaha (merger) yang membuat industri obat tersebut menjadi dominan. Alhasil, industri tersebut bisa menjadi penentu harga. "Merger dan akuisisi farmasi menyebabkan posisi dominan beberapa pelaku," kata Sukarni.

Dugaan lain adalah adanya penetapan harga jual lagi. Sukarni mengatakan, harga eceran tertinggi (HET) yang sudah diatur ialah untuk obat generik. Sebaliknya, untuk generik bermerek dan paten masih diserahkan ke mekanisme pasar.

"Kalau kita lihat ada harga obat HET tapi bisa jadi pergi ke apotik lain harga beda-beda, banyak cara mungkin diskon tertentu sehingga menjual lebih murah. Harusnya tidak boleh resale price maintenance (RPM) menetapkan harga jual kembali," ucap Sukarni. (Fik/Ndw)

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya